Apakah aku harus memperkenalkan diri?
Aku
coba untuk menjawab sendiri, menjadikan diri ini orang lain yang akan menjawab
pertanyaan itu. Namun ada kebingungan, kecemasan yang membuat hati ini menjawab
kaku atas pertanyaan diri sendiri.
Aku
kembali bertanya, “pantaskah aku dikenal?”
Sedikit
hangat hembusan napas mengalir menerpa jari tangan di bilah keyboard. Udara yang
hendak memulai perkenalan ini, perkenalan yang tak dianggap oleh mata manusia. Dikenalkan oleh jari yang telah
hangat, bersemangat oleh hembusan optimis, menari jari, menekan empat huruf
yang akan mejadi tokoh sentral kisah ini.
Baiklah,
telunjuk memulai. Sedikit menekan Caplock jari mengenal,
“DODI”
Nama
yang begitu pendek, sependek hembusan napas optimis di awal perkenalan. Aku
akan bercerita sedikit tentang hidupku kawan. Ah, entahlah apa namanya. Apakah
sebuah catatan hidup, diary, atau memoar yang akan mengalahkan cerita hidup Soe
Hok Gie. Ah, terlalu jauh aku berhayal.
Kali
ini udara napas sedikit dingin, membawa aura pesimis. Pantaskah aku ini
menceritakan kisah hidup yang tak berjaya ini, jangankan berprestasi. Jauh
sekali dari kata sukses. Karena ceritaku tak sejenius Habibie, sebab batinku
tak berkecamuk, bergulat batin bak Soe Hok Gie. Apalagi, perenungan
spiritual seperti seorang Buya Hamka.
Kawan. Aku di sini akan bercerita tentang perjuangan
sekolahku. Ya, cerita dari sisi akademis membuat orang besemangat. Mereka membayangkan
bagaimana pengorbanan dari SD sampai menjadi seorang Sarjana. Sarjana. Kata itu
yang membuat dadaku sesak mengawali tulisan ini.
Aku
bukan seorang Sarjana kawan, bukan. Tapi, aku berharap kisah ini menjadi
penyemangat, menjadi hembusan yang akan mendorong tekad mereka yang sempat
berucap remeh, “buat apa sekolah?”
Kisah SD
Sulit
aku mengingat perasaan yang bergulat ketika akan masuk dunia sekolah pertama
kali. Tapi, yang pasti kuingat adalah sepatu kelinci merah. Ada apa dengan
sepatu itu? Sabar kawan, perlahan akan kuceritakan kisahku.
Pada
tanggal 19 Juli 1999, DODI diterima di kelas 1 SDN 68 Liku. Yah, seperti itulah
kira – kira yang tertulis di buku rapor merah itu. Yah, pada tanggal itulah
resminya aku mengenakan setelan putih merah. Merah. Ya, Merah.
Halaman depan buku rapor Dodi saat
SD
Beberapa
hari sebelum tanggal 19 Juli 1999. Aku bersama bapakku, pergi ke pasar. Membeli
perlengkapan sekolah. Seragam, beberapa buah buku dan pensil. Tas dan juga,
sepatu. Izinkan aku menghirup napas dahulu kawan. Dan meneguk air putih di samping laptopku saat ini.
Perasaan ini, perasaan yang mungkin belum aku rasakan sewaktu kecil dulu.
Aku
lupa tepatnya di toko mana kami membeli. Tapi seingatku dulu, banyak sepatu
kelinci hitam yang ada di rak toko yang kami kunjungi. Aku bukanlah anak yang
menuntut, aku berusaha menurut, meskipun saat itu bapak memilih sepatu merah. Sulit
aku mengerti saat itu, mengapa bapak memilih dan membeli sepatu kelinci merah
tersebut.
Yah,
saat ini aku baru menyadarinya. Karena sewaktu awal masuk sekolah, hanya aku
yang menggunakan sepatu kelinci merah. Tidak mungkin bapak tak bisa berpikir,
banyaknya sepatu hitam di toko kala itu, berarti sepatu kelinci hitamlah yang
normalnya dipakai ke sekolah. Bukan sepatu merah, apakah bapak merasakan
pergulatan batin juga, sama seperti aku saat ini yang menduga.
Kami
bukan dari keluarga mampu kawan. Orang tuaku hanya petani, menyadap karet. Apakah
sepatu kelinci merah itu pilihan terakhir bapak, daripada aku tidak menggunakan
sepatu saat pertama kali sekolah. Membuat anaknya kecewa bukanlah orang tua
yang baik, di saat anaknya tengah senangnya ingin sekali segera masuk sekolah. Dan
sepatu kelinci merah itu, walaupun yang paling murah mungkin, tapi mahal untuk
kebanggaan bapak saat itu.
Satu
lagi kawan, seingatku dulu kalau diajak bapak ke pasar. Adakalanya jika membawa
uang lebih beliau membawaku makan bakso di dalam pasar Sentral. Beliau tidak
suka bakso, “bapak tak suka bakso, untukmu saja. Bapak minta mi nya aja.” Satu mangkok
berdua. Romantis?
Tak
ada kata romantis, sekarang ketika aku pulang kerja dan sesekali membeli bakso.
Beliau begitu lahap memakan bulatan baksonya. Mengapa dulu bapak tak suka? Mengapa?
Orang
tua akan mendahulukan kasih sayangnya.
Seketika
mataku berlinang menulis kisah ini kawan. Orang tua akan mendahulukan
kesenangan anaknya. Walaupun pahit di sendoknya, sendok anak harus bertaburkan
gula.
Dulu
semasa SD ada kewajiban siswa membayar iuran BP3. Sesekali aku juga berjualan
jemput pisang dan sagon. Saat itu aku sudah kelas tiga saat disuruh Mamak
berjualan. Sebagai anak lelaki, aku kala itu juga malu menenteng wadah basi
yang patah bagian telinganya. Basi itu berisikan jemput pisang, atau terkadang
sagon bubuk yang aku bawa. Kata Mamak, “uangnya ditabung, buat bayar BP3.”
Kelas
3 dan 4 semasaku dulu masuk sekolah di siang hari. Istilahnya sekolah sore. Karena
SD kala itu hanya tiga lokal kelas. Selain mengantuk, ada satu hal yang membuat
anak – anak kelas sore kala itu tertantang ke sekolah. Seorang guru matematika
garang, yang membuat mata kami seakan tak berani berkedip apalagi mengantuk.
Ibu
guru itu seorang Batak alami. Ya, sesuai namanya Terapul Sinaga. Suaranya
tinggi ketika mengajar, hafalan perkalian menjadi syarat utama kala itu di
setiap pembelajarannya. Tak bisa, berdiri!
Selain
ibu Terapul Sinaga tadi, ada ibu Muji Surati yang tenang, ada satu peraturan
yang dibuat olehnya yang begitu identik oleh anak – anak kelas sore. Peraturan yang
sangat sederhana, namun membentuk kebiasaan yang baik.
Tak
ada anak – anak sore yang berani berkata kotor. Ada istilah “ngomong jorok”
dulu. Banyak mata- mata, bahkan semua
murid menjadi mata – mata teman lainnya. Entah mengapa ada kelucuan tersendiri
bagi kami dulu ketika berhasil melaporkan teman yang ngomong jorok dan akan dihukum
di depan kelas memukul kakinya sendiri, entah berapa kali pukulannya aku lupa
kawan.
Dua
tahun sudah aku di kelas sore. Naik ke kelas lima berarti kembali merasakan
aroma kesegaran bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Tak ada teriakan bu
Sinaga lagi, tak akan mengantuk. Namun, cara bicara sudah mulai terbiasa untuk
tidak mudah mengeluarkan kata – kata jorok lagi. Di balik kesulitan kelas sore
ternyata ada pembelajaran moral yang luar biasa.
Aku
lupa, tepatnya kapan entah kelas lima atau enam. Pernah aku dan kedua temanku
dulu mewakili sekolah untuk mengikuti
lomba cerdas cermat dalam rangka ulang tahun di sebuah SMP di kota.
Foto saat penulis ikut lomba cerdas
cermat. Lingkaran merah adalah penulis saat SD, di tengah Rosli/Oos dan Cahyo
Aku,
Rosli dan Cahyo. Tiga serangkai yang akan mewakili SD kami berlomba. Kalau diumpamakan
sekarang kami dulu adalah Ikal, Lintang dan Mahar dari cerita Laskar Pelangi. Tapi,
kami tidak menang dan hanya masuk final juara harapan satu.
Namun,
ada kisah di balik itu semua. Pelajaran yang dilombakan adalah MM dan IPA. Kami
harus rela belajar tambahan ke rumah guru kami yang ada di desa tetangga dengan
berjalan kaki. Tidak sampai di situ kawan, setiap akan sampai ke rumah guru tersebut,
kami akan teriak permisi dengan keras karena takut masuk ke halaman yang di
jaga oleh anjing peliharaan guru tadi.
Sehari
sebelum lomba ada kebingungan antara aku dan Rosli. Kata – kata guru itu
mengiang di otakku. Ternyata Rosli juga. “Rosli, Dodi. Ibu maunya pas lomba,
kalian cari baju yang bagus. Jangan pakai baju yang biasa kalian pakai itu. Pinjam
kah, atau bagaimana,” kata guru kami saat itu.
Kalau
Cahyo, nampaknya tak ditegur oleh guru kami. Cahyo bagaikan Ikal yang selalu rapi dan pakai minyak tanco ke sekolah
sehingga dalam hal berpakaian ia tak ditegur. Namun, aku dan Rosli sudah
seperti Lintang dan Mahar, kerah bajuku bagian belakang sobek, ketiak bertahi
lalat. Sungguh memprihatinkan. Jadi kami berdua sepakat meminjam baju teman
yang lebih layak, dan kami akan berusaha rapi.
Sampai
– sampai aku berujar pada Rosli kala itu, “kan lomba nya di otak ya. Ngapa baju
dibaguskan?”
Otakku
saat itu belum memikirkan, kalau ajang perlombaan itu bukan hanya menang kalah.
Namun, membawa nama baik sekolah. Termasuk perkara pakaian.
Kisah
dengan Rosli bukan hanya itu kawan, tapi yang paling berkesan memang saat –
saat sekolah. Kali ini saat ujian akhir SD.
Sekolahku
saat itu menginduk ujian di sekolah lain yang berada cukup jauh dari sekolah di
kampungku. Sekali lagi aku dan Rosli harus bersampan untuk pergi ke sekolah
yang menjadi tempat ujian. Harus menggunakan
sampan, karena sesuai perhitungan dan kesepakatan, daripada naik oplet/angkot
pulang pergi lebih baik pakai sampan dan tetap ada uang untuk bekal.
Kartu Peserta Ujian penulis saat
ujian akhir SD
Dengan
sampan, bukan berarti langsung singgah di depan sekolah yang di tuju. Sampan hanya
kami gunakan untuk menuju wilayah Beringin karena daerah ini berbatasan dengan
sungai dengan kampung kami. Setelah sampai di Beringin kami berdua harus
berjalan kaki lagi selama kurang lebih dua puluh menit, untuk sampai ke tempat
ujian. Begitu setiap hari, sampai ujian selesai.
Alhamdulillah,
ujian selesai. Kami tak capek harus mendayung lagi. Tinggal menunggu
kelulusan.................
Setelah
diumumkan kelulusan, kata guruku aku juara rayon, betapa bahagianya hatiku. Namun
sejurus pertanyaan dari guru membuatku tertunduk lemah, “kamu mau melanjutkan
ke SMP mana?”
Aku
hanya tersenyum kaku. Air mata ingin mengalir, terasa ada yang menghalangi
untuk menjawab pertanyaan itu. Seperti hujan yang menghalang tidak bisanya
orang tua untuk menoreh. Air mata ini hujan, tak ada getah tak ada uang.
Timbul
keraguan. Apakah aku melanjutkan sekolah?
Bersambung
...............
Lanjutkan, Kak.
BalasHapusSemangat terus Kak Dodi. :)
Sukses selalu.
siap nanda
Hapus