Pintu Surga Dari Wanita Penggoda

 



Pintu Surga Dari Wanita Penggoda

    Tak ada yang tahu jalan hidup manusia. Sebuah pencarian, sejatinya hanya diketahui oleh sang pemilik kaki atas apa yang dibutuhkan dalam hidupnya. Angin dari berbagai belahan dunia tak akan mampu memaksa manusia untuk memihak pada penjuru yang satu. Dan manusia itu sendiri, bisa jadi seperti angin. Hatinya tak dapat dikasat.

    Apakah bodoh, bongol atau gila. Masdar selalu menanyakan di mana pintu surga setiap kali habis belajar mengaji di rumah Ustadz Ris. Pertanyaan itu ia sampaikan sambil berbisik, ketika semua teman – temannya sedang rebutan sendal di teras sang Ustadz. 

    “Tad, pintu surga itu di mana sih?”

    Entah hari ini pertanyaan ke berapa, sejak Masdar mengetahui  perbedaaan huruf ta dan ba, sejak awal pertama ia belajar di rumah Ustadz Ris. Kerah kemeja putih Ustadz Ris seakan bosan, selalu dan selalu dibisikan oleh pertanyaan yang sama.

    “Hari ini, pintunya  sukur Dar,” jawab Ustadz Ris dengan berbisik pula.

    “Sukur? Apa yang aku sukuri Tad?”

    “Sekarang kau lihat sendalmu di teras.”

    “Sekarang?”

    “Iya, lihat saja. Nanti aku jawab apa yang harus kau sukuri,” perintah Ustadz Ris.

    Dengan penuh ketaatan kepada sang guru, Masdar bergegas menuju teras rumah. Matanya menjelajahi setiap sudut teras. Di samping pot bunga, rak sepatu, dibawah keset kaki. Dapat. Sendalnya bergelantung di ujung jemuran lipat. 

    “Ketemu Tad.”

    “Alhamdulillah, sudah kau sukuri, Dar?”

    Bukan hanya sendal, terkadang kopiah Masdar yang ia lepas karena gerah juga sesaat bisa hilang tatkala ia bertanya kepada Ustadz. Teman – temannya menganggap Masdar kurang kerjaan, menanyakan pertanyaan yang sama setiap hari. Ya, setiap hari. Hal itu yang membuat teman – temannya menganggap Masdar bongol. 

    Tapi, bagi Masdar sendiri, sukur hari ini merupakan pintu yang entah ke sekian. Pintu yang sebelah mana dari surga. Ia masih ragu, betapa banyaknya pintu surga itu. Mengapa tidak satu saja pikirnya, sangat berat dan banyak. 

    Haruskah ia mengingat pintu – pintu itu sebagaimana ia harus menghafal perbedaan huruf  ta dan to, sa dan tsa, dal dan dza

    Sudah berapa pintu yang ia dapat. Pintu sholat, puasa, zakat, haji, baca alquran, sedekah, sopan, diam, rajin, malu. Pusing Masdar. 

                        ***

    Malam Jumat, anak – anak tak ada yang belajar mengaji. Sudah menjadi kebiasaan di kampung, karena ustadz Ris banyak kegiatan di malam ini. Tapi, tidak dengan Masdar. Ia tak peduli malam Jumat, malam libur, malam cuti. Ia harus tahu pintu surga untuk malam ini. Kalau boleh dan dapat, ia akan menawar Ustadz Ris, untuk meminta agar pintu surga cukup dijadikan satu saja, agar ia yang bongol ini bisa masuk dengan gampang pikirnya.

    “Aku ada acara di kampung sebelah, Dar. Besok saja. Tak ada waktu untuk pertanyaan bongolmu itu,” kesal sang Ustadz ketika buru – buru menaiki sepeda motor.

    “Sekarang saja Tad, beri tahu aku.”

    Ustadz Ris melaju. Punggungnya berlalu. Tak memedulikan  Masdar yang masih berdiri ragu di depan rumahnya.

    Ke mana ia harus mencari jawaban. Apa lagi gerangan pintu surga malam ini. Masdar terlihat lesu, ia pergi ke ujung kampung menuju jalan raya. Suasana petang semakin ramai, lampu – lampu angkringan, kendaraan yang berlalu lalang.  

    Bibir Masdar tak sabar ingin menanyakan di mana pintu surga. Ia tak mau malam ini tak ada jawaban. Bisa saja ia tanyakan kepada orang – orang di jalan ini. Kepada tukang cilok, pakde pecal lele, penjaga kios bensin eceran, atau kalau bisa ia bahasa binatangpun akan ditanyakannya kepada sekelompok burung layang – layang yang membentuk saf berjejer di tali listrik.

    Akhirnya, suara itu datang seakan merehatkan pikirian bongol Masdar. Tenang iramanya, aliran darahnya teratur setelah tak sabaran menanti jawaban. Ia menuju masjid terdekat untuk sholat isya.

                    ***

    Di teras masjid Masdar masih memikirkan pertanyaannya. Harus didapat malam ini juga, tak ada pak Ustadz, orang lain juga bisa. Bukankah orang yang datang ke masjid ini juga orang – orang yang baik imannya dan bisa memberi jawaban. 

    “Sholat.”

    “Pintu yang itu sudah, Pak.”

    “Sedekah.”

    “Sudah”

    “Haji”

    “Yang lain”

    “Membantu si miskin yang kelaparan.”

    “Terlalu panjang, namun pintu itu sudah”

    “Manusia macam apa kau ini nak? Sejak kapan kau mengumpulkan jawaban dari pertanyaanmu itu?”

    Masdar hanya tersenyum. Diperbaikinya kopiah yang sedikit melorot. 

    “Sekarang saya sudah bisa membaca Al quran pak, pertanyaan itu saya ajukan ke guru ngaji saya sejak belajar iqra,” jawab Masdar enteng.

    “Kau cari saja jawabannya di tempat lain, atau tanyakan langsung ke guru ngajimu.”

    Masdar kembali tersenyum. Ia izin pulang. Sendalnya masih sabar menunggu.

    Jalan raya mulai sepi, angkringan tak lagi mengepul dan membagikan aroma nasi goreng. Kios minyak eceran sudah tutup. Saf – saf burung layangan semakin rapat. 

    Belum juga ada jawaban, Masdar bingung ia tak mau meninggalkan malam ini tanpa jawaban. 

    Di kejauhan tepat di depan persimpangan yang menuju kampungnya. Masdar melihat seorang wanita cantik. Berpakaian sedikit terbuka. Ia  memang tak biasa berbicara dengan wanita. Namun, pikiran bongolnya tentang jawaban dari pertanyaan tadi mulai terlintas.

    Siapa tahu wanita ini punya jawaban. Masdar sedikit malu, ketika mendekat wanita itu. Ia masih remaja, sedangkan yang ada di hadapannya seorang wanita dewasa yang cantik dan mempesona.

    “Permisi kak, aaaa.”

    Masdar masih ragu apakah akan menanyakan pertanyaannya itu kepada wanita di depannya.  Wanita itu hanya tersenyum dengan aroma tubuh yang menggoda. 

    “Lewat aja, ngak bayar kok.”

    Jawaban wanita itu membuat bulu kuduk Masdar terbangun. Tapi, ia malah menghentikan langkahnya tepat di depan wanita itu. 

    “Aku punya pertanyaan kak, apa kakak bisa jawab?” suara Masdar parau, kering batang lehernya. 

    “Tersesat ya, kamu orang mana? Tapi maaf, saya tak hapal juga wilayah ini,” jawab wanita tadi dengan suara yang menggoda.

    “Bukan, aku bukan tersesat. Tapi bingung. Pintu surga itu di mana ya?”

    Suasana menjadi hening. Tak ada kendaraan yang lewat. Angin tak berhembus. Kepak sayap burung layangan senyap. Daun mati takut jatuh, jangkrik lupa lantunan. Senyap seakan mendukung pertanyaan Masdar.

    Wanita itupun ragu ingin menjawab. Diyakininya  anak remaja di depannya. Bukan pelanggan yang memberi kode isyarat. Tapi pintu surga biasa ia dengar di kalangan teman seprofesinya.

    “Kamu mau tahu pintu surga?”

    “Ya, kakak tahu?” wajah Masdar berbinar.

    “Berapa umurmu,” tanya wanita itu.

    “Enam belas tahun.”

    “Terlalu dini untuk mengetahui pintu surga,”

    “Tapi aku sudah tahu banyak pintu – pintu surga yang lain.” tambah Masdar mantap.

    “Apa?  Pintu – pintu yang lain?”

    Wanita itu menghela napas. Ia melirik jam tangan, “Maaf malam ini aku tak bisa memberi tahu pintu surga dariku, karena pintuku akan dibeli oleh mereka yang kutunggu saat ini. Pulanglah, kalau kau memang mau jawaban dariku, malam minggu besok aku tunggu di sini lagi dan kau akan kuberi tahu pintu surga dariku.”

    Masdar berlalu, langkahnya lesu. Gagal ia dengan jawaban malam ini. Mengapa pintu surga dari wanita itu bisa dibeli, sedangkan jawaban dari  Ustadz  tak ada bayaran sama sekali. Ia mulai berpikir waras, kalau ada yang meberi dengan percuma mengapa harus mendapatkan jawaban dari membeli. 

    Kali ini ia berusaha sabar, dan sabar merupakan salah satu pintu surga yang ia dapatkan dari  Ustadz Ris.



Komentar