cerpen Komedi, Artis Banjir
Akhir
– akhir ini banjir telah menjadi artis dadakan dimedia massa. Di tv, radio
semua memajang berita perihal banjir. Bukan hanya media massa yang dibuat
sibuk. BMKG yang merupakan badan intelejen cuacapun dibuat kerepotan
menyelidiki arah angin dan jejak yang dititipkan awan. Walhasil banjir menjadi
primadona untuk beberapa bulan kedepan.
Tapi di kampung Sungai Liku yang masyarakatnya berjiwa selebritis, tidak
memandang banjir sebagai saingan berat populeritas mereka. Warga sudah biasa
dengan banjir yang datang tak dijemput pulang tak di antar itu.
Perlu diketahui, kepopuleran warga Sungai Liku yang berjiwa selebritis itu tak lain dan tak
bukan karena sosok langka yang masih dilestarikan warga. Sosok langka yang
memiliki bakat terpendam dibidang keartisan.
Siapa dia, kalau bukan Mayap Goyon.
Makhluk langka yang memiliki postur semampai, alis tebal
dan gaya rambut dimirip – miripkan dengan A Rafik. Konon rambutnya inilah yang
membuat ia di juluki artis kampung. Jelasnya artis Sungai Liku.
Dari kecil Mayap Goyon memang bercita - cita ingin sekali menjadi seorang artis.
Karena pada waktu sekolah rakyat dulu ia sempat di tanya gurunya, “Goyon...kalau sudah besar mau jadi apa?”
Di tanya seperti itu sontak Mayap Goyon muda menjawab
dengan semangat, “mau jadi antik pak
biar terkenal,” jawabnya ambisius.
Seisi kelaspun gaduh riuh menertawakan Mayap Goyon yang
salah ucap. Dia mengucapkan kata antik yang dimaksudnya artis. Sejak itulah
Mayap Goyon juga dikenal sebagai manusia langka dan antik di Sungai Liku.
Di
balik keartisannya dan kelangkaan yang dimiliki Mayap Goyon. Dia juga orang
yang baik di kampungnya. Anak – anak
adalah teman setianya. Bermain dengan
anak – anak bukanlah hal yang memalukan baginya. Karena Mayap juga tak punya
anak dan telah ditinggal istri meninggal dunia.
Pernah suatu hari Mayap Goyon diajak anak – anak bermain
gasing, ya, gasing modern yang di jual di toko mainan. Itu lho seperti di
kartun Jepang. Mayap Goyon dengan wajah ceria menyambut ajakan itu.
“Tunggu ya ...Mayap ambil gasing dulu,” katanya pada anak – anak.
Di bukanya peti kayu di bawah tempat tidurnya. Peti kusam
berdebu.
Mulutnyapun monyong meniup debu yang lengket. Kali ini
mulutnya komat kamit seperti membaca mantra,
dan ditiupnya lagi peti itu. Bukan mantra yang pelan terucap, juga tidak
ada tiupan magis yang ditiupkan. Melainkan mulut Mayap yang kemasukan sarang
laba – laba dan menempel mesra di ujung monyongnya.
Tangannya telah menggenggam sebuah gasing pusaka dan
pastinya langka. Tapi, bukan gasing
seperti difilm kartun Jepang. Melainkan gasing yang terbuat dari kayu Belian.
Sudah dapat disimpulkan pembaca, gasing Mayap berhasil
menang dan meluluhlantakkan gasing modern Jepang milik anak – anak. Sudah pasti
anak – anak menangis dan Mayap terkena omelan dari ibu – ibu yang sayang
anaknya.haha
Baca Bukunya lebih Ngakak: Klik Aja
***
Hujan deras beberapa hari ini telah membuat jengkel warga
Sungai Liku. Bukan hanya menjadi saingan di media massa, tapi sudah melumpuhkan
aktivitas rutin yang dilakukan mereka. Rutinitas warga Sungai Liku yang berjiwa artis itu memang padat. Ruh
selebritis mengalir deras di hati sanubari. Padahal mereka tidak dipadatkan
dengan pembuatan iklan, mengisi acara konser atau penyiar berita. Kesibukan
mereka lebih pas masuk ke program Reality
Show atau kehidupan aslinya sebagai masyarakat kampung yang bersahaja.
Mayap Goyon juga merasakan hal itu. Hujan beberapa hari
ini membuatnya tidak bisa pergi ke kebun untuk menyadap karet. Sedangkan beras
makin hari semakin menipis di telan oleh waktu.( bukannya ditelan mulut ).
Hari – hari ia isi dengan bersantai saja. Mendengarkan
radio. Sepertinya hujan telah menghambat jadwal syutingnya beberapa hari ini, ya...syuting
di kebun karet.
“Berjumpa dengan saya Iskandar dalam Lintas Berita.”
Suara pembawa acara berita di radio terdengar tegas.
Mayap pun mendengar dengan seksama.
“Para pendengar, banjir telah melanda kampung Sungai Liku
dan sekitarnya. Oleh sebab itu diadakan peninjauan oleh Gubernur. Mengingat
kampung tersebut merupakan kawasan penting dan patut untuk dilestarikan. Lebih
lanjut pendengar, Gubernur akan berkunjung besok pagi jam 10.00 menuju kawasan
banjir. Sekian Lintas Berita. Sampai jumpa.”
Mendengar berita Gubernur akan berkunjung, sontak Mayap Goyon
meloncat kegirangan. Cita – cita terpendamnya selama ini ingin masuk tipi pun sudah didepan mata. Karena kalau ada
orang penting seperti pejabat datang apalagi sekelas Gubernur pasti akan
diliput oleh wartawan tipi pikir
Mayap.
Mayap mulai bersiap untuk besok. Dibukanya lemari kayu di
kamar, dengan sigap ia memilih baju hijau berkerah kuning dan celana kain merah
tua.
“Wah nampaknya baju ini cocok untuk besok, ini baju
kebesaran. Pasti ganteng aku besok,” gumam Mayap sambil berlenggak lenggok di depan
cermin.
Dengan gayanya yang mirip, eh lebih tepatnya dimirip –
miripkan dengan artis dangdut A Rafik ia berputar – putar didepan cermin tak
puas ia mengagumi dirinya.
“Pandangaan pertama awal masuk tipi.....pandangan
pertama awal masuk tipi. Berdebar – debar hati
rasanya..., ingin masuuukkk tipi...hampir – hampir aku tak sabar di
buatnya...”
Luar biasa Mayap menyanyikan lagu - lagu artis pujaannya.
Walaupun kemana nada, kemana lirik, ke mana suara, tak jelas. Nampaknya dia
sangat bahagia.
Kembali diliriknya rupa yang sudah ganteng merana. Tahu
ganteng merana?, kata Mayap itu istilah dari bahasa Yunani kuno; Merana
, memang rupa yang fana. Karena
tak ada yang sempurna di dunia ini. Pangkat, jabatan, kekayaan, apalagi
ketampanan. Semua bersifat fana. Mayap menyadari itu. Cie ..bijak yee :p
Setelan baju celana sudah. Rasa – rasa ada yang kurang
pikir Mayap.
Diperhatikannya lagi cermin. Kali ini mukanya hampir
mencium cermin. Cemberut dia, cemberut juga rupa dicermin. Tersenyum simpul
wajahnya, tersenyum mantul dicermin dilihatnya.
“Apa yang kurang lagi nie?,” Mayap mulai gelisah.
Di garuk – garuknya kepala yang sama sekali tak ada
merasa gatal.
“ Amboy.....kepala nie harus di hias juga,” katanya setelah sadar dari
kebingungan.
Kopiah hitam dikenakannya, namun dilepas lagi ketika
bercermin. Takut kalah wibawa Gubernur pikir Mayap kalau dirinya pakai kopiah.
Di ambilnya topi rotan di dapur. Lagi – lagi tak cocok menurutnya.
Tak ada yang pas dirasakannya. Mayap kembali bingung
mencari penghias kepala.
Ditengah kebingungannya. Terdengar suara cicak di pojokan
pintu kamar. Seakan memberi ilham atau wangsit kepadanya.
Telinganya yang cekatan akan bunyi tadi memberi reaksi
agar kepalanya menoleh cepat ke arah suara. Matanya tajam. Perlahan dia menuju
balik pintu kamar. Tangannya meraih daun pintu dengan hati – hati.
Sejurus kemudian. Sunyi.
Dan blezz
pintu kamar digerakan cepat.
A – haa. Cicak kaget. Protes berat nampaknya lalu pergi
dengan muka dongkol. Karena belum sempat meninggalkan jejak hitam putih di
balik pintu. Jejak yang tak disukai Mayap. Taik cicak.
“Amboy..., ini rupanya topi aku,” kata Mayap mengambil
topi hansip yang sejak berapa dekade menghilang.
“Lapok, burok. Taik cicak,ihh....Tapi ini yang aku cari,”
Mayap tampak menepuk – nepuk topi
hansipnya.
Baju hijau berkerah kuning, celana kain berwarna merah
tua serta dengan topi hansip berwarna hijau. Sungguh merupakan kombinasi fashion yang sangat menarik, unik sekaligus langka.
Namun bagi Mayap pakaiannya kali ini tidak kalah dari penyanyi favoritnya A
Rafik.
Sempurnalah stylenya kali ini.
***
Pagi yang cerah dengan sinar mentari yang menusuk lembut
dan menyusupkan cahayanya di sela – sela dinding papan rumah warga. Ditambah
lagi dengan kicauan manja anak burung
yang bernyanyi menunggu dimandikan induk mereka.
Burung aja mandi. Tapi bagaimana dengan mayap?
Belum!
Mayap belum mandi. Tapi kebahagiaannya tak akan kalah dengan kegembiraan yang di rasakan anak burung pagi ini. Yang mengalahkan Mayap dengan burung pagi ini hanya satu. Dia tidak berkicau.
Berkicau memang bukan kebiasaan Mayap. Dirinya hanya
biasa bersiul fales. Tapi karena
fales dan hanya terdengar suara nafas yang di paksa – paksakan. Maka ia tak
juga bersiul pagi ini.
Mayap hanya termenung di samping jendela menikmati
hangatnya mentari pagi. Matahari yang muncul seakan berkata kepadanya, “selamat
Mayap, hari ini engkau akan masuk tipi.”
Di sisinya sudah ada radio yang selalu menemani
kesendiriannya.
“Selamat pagi pendengar. Bersama saya Iskandar inilah
Lintas Berita pagi.”
“Tak ada penyiar lain kah?. Iskandar terus. Cobalah
Susanti, Mely,” gumam Mayap yang dongkol karena penyiarnya itu – itu saja.
“Berita pertama, hari ini Gubernur akan menghadiri rapat dengan anggota DPRD
Provinsi guna membahas anggaran belanja daerah. Oleh sebab itu kunjungan ke
kampung Sungai Liku ditunda mengingat
pembahasan anggaran daerah lebih penting dari pada banjir.”
“Waii...apa hal nih?” kata Mayap setengah teriak.
Telinganya
langsung merah. Tak terima dengan berita
yang didengarkannya. Tak ada kunjungan Gubernur tentu tak ada wartawan, tak ada
wartawan tak ada kamera, tak ada kamera tak bisa masuk tipi.
“Penantianku selama ini terpupus sudah, tak bisa masuk tipi, kapan aku jadi artis?,” teriak Mayap kesal.
Mengapa harus menunda pikirnya. Bukankah banjir juga
penting. Minimal memperlihatkan muka, datang sekedar memberi emangat ke warga.
Tapi lebih memilih membahas anggaran belanja. Paling – paling banyak juga yang
korupsi. Buat apa dibahas.
Ah, nampaknya hanya kekesalan seorang warga biasa yang
tak tahu urusan pemerintahan. Mayap
mematikan radionya. Nampaknya Iskandar hari ini bukan penyiar yang baik
baginya.
***
Gubernur memang tidak jadi berkunjung ke kampung Sungai Liku.
Namun aura selebritis yang menjadi ruh kampung tersebut nampaknya telah membawa
angin segar untuk Mayap Goyon.
Suara menderum di jalanan kampung. Tak biasanya. Sebuah
mobil hitam berhenti di depan halaman rumah Mayap.
Paling hanya numpang mutar, pikir Mayap. Tak acuh juga
ia. Tapi sesaat terdengar suara klakson mobil.
“Mobil siapa nih, keluarga bukan. Atau Gubernur ya. Bisa
saja, mungkin rapat anggarannya lagi kekurangan anggaran makanya ditunda,” pikir Mayap enteng.
Tak tahan keluar juga Mayap.
Di luar di lihatnya empat orang berpakaian serba hitam
sudah keluar dari mobil. Ada hal yang menyenangkan hati Mayap kali ini. Salah
satu dari empat orang itu ada yang membawa sebuah kamera.
“Permisi pak, kami wartawan dari stasiun tv RR ingin
meliput keadaan banjir di kampung Sungai Liku
ini,” kata seorang dari mereka menjelaskan.
“O, wartawan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Mayap antusias.
“Kami ingin mencari seseorang yang bisa kami jadikan
narasumber diacara kami, Pak,” kata seorang lagi menimpali.
“Kalau begitu saya saja, saya bisa kok jadi narasumber
acara kalian,” jawab Mayap senang.
Nampak salah satu dari mereka berbisik dan tersenyum
kepada yang lain. Ragu sepertinya mereka kalau Mayap sebagai narasumbernya.
“Maaf pak kami tidak bisa mewawancara bapak kalau keadaan
bapak seperti sekarang ini.”
“Maksudnya apa?” tanya mayap. Dia merasa di lecehkan.
“Maaf sebelumnya. Bapak akan kami wawancara, tapi tidak
berpakaian seperti ini.”
Mayap baru menyadari kalau dirinya hanya mengenakan kaos
kutang putih yang bolong di bagian pusar.
“Hahaha, maaf. Saya akan segera ganti baju, tapi kalian
janji saya yang jadi narasumber nya,” pinta mayap lagi.
“Baik pak.”
Tunggu saya ganti baju dulu.
Tidak harus menunggu lama. Para wartawan dibuat
tercengang tak percaya. Di mata mereka telah berdiri seorang lelaki tua dengan
pakaian yang luar biasa nyentrik. Mayap dengan pakaian kebesarannya baju hijau
berkerah kuning, dan celana kain merah tua serta di lengkapi topi hansip
berwarna hijau menghiasi kepalanya.
“Luar biasa...pakai banget pak. Luar biasa banget.”
Para wartawan tak bisa menahan tawa.
“Kalian mengolokku ya?” tanya Mayap dongkol.
“Tidak pak, Cuma antik saja kelihatannya,” jawab salah
satu wartawan yang masih menahan tawa.
“Ini baju langka. Baju kebesaranku tahu?,” jawab Mayap enteng.
“Benar pak, ini baju langka sekaligus orangnya juga.
Sungguh mahakarya luarbisa. Pakai banget ya pak, luar biasa banget,” tambah wartawan yang lain.
“Baik kapan di mulai wawancaranya?,” tanya Mayap tak
sabar.
“Sekarang....!,” jawab wartawan kompak.
Mayap Goyon kaget sendiri.
Lanjut Baca : Makin Lucu
Posting Komentar untuk "cerpen Komedi, Artis Banjir"