Cerpen # Bantal Dumolid

 




Bantal Dumolid

 

            Suara ketukan keras penuh emosi di balik pintu rumahku. Jam menunjukkan pukul 22.43. Hampir memasuki waktu tengah malam. Siapa yang  bertamu tengah malam bagini?  Tak ada janji.

             Suara ketukan pintu itu berbunyi lagi. Kali ini lebih keras. Angin malam berhembus cepat, dingin, menerpa tubuhku yang hanya dibaluti kaos tipis. Ada bisikan  dari angin tadi, yang membuat  takut. Perasaanku serba salah.

            ‘’Selamat malam sodara Sudi, kami dari kepolisian.’’

            Perlahan kuputar anak kunci yang dari tadi menempel dipintu kamar. Dengan lembutnya jemari ini merayap di dinding kamar mencari slot lampu di ruangan pribadiku yang seketika terang setelah slot kutemukan. Kurebahkan tubuh yang sangat ingin bermesraan dengan kasur empukku. Sudah pukul 02.10. Ah, sebentar  lagi subuh.

            Pertemuan yang didambakan tubuh ini untuk bermesraan dengan kasur, tidak sertamerta membuat mataku terpejam. Lelah memang. Tapi kedua kelopak mata ini nampaknya tidak ingin bercengkrama. Pejam  lalu berkedip. Ah, mengapa ini, aku tak bisa tidur.

            Dengan tubuh yang  terasa berat aku berusaha bangun kembali, berjalan menuju ruang tengah. Tv  kunyalakan. Berharap mata ini bisa terlelap nanti ketika menonton tv. Beberapa kali kutekan remot  untuk mencari siaran yang bagus.

            Aku tersenyum menyaksikan iklan tv yang aku perankan. Menjadi seorang artis memang lucu terkadang, ketika melihat  kembali tayangan yang kita lakoni. Sejenak aku berhenti tersenyum, ketika tangan ini tidak sengaja menekan remot  mengalihkan saluran lain. Program tausiah subuh.

            ‘’Ya ampun  aku tak tidur lagi.’’

            Pekerjaanku ini memang menuntut untuk terbiasa pulang malam. Dunia begitu cepat berputar, hiruk pikuk pekerjaan, dan kenyamanan yang disuguhkan dunia telah melupakan diriku akan hak tubuh ini. Aku jarang tidur, kalaupun tidur  tidak lebih dari dua jam, itupun kalau tidak ada kerjaan keesokkan harinya yang menuntut bangun lebih awal.

            “Sudahlah Sud, coba aja, inikan obat juga, daripada kamu tidak tidur dan akhirnya lelah  terus sakit,’’ usul Marco, teman seprofesiku.

            Marco memang lebih awal mengenal dumolid, tablet  kecil yang katanya bisa memberi ketenangan dan bisa tidur pulas. Marco sering menawarkannya padaku, tapi belum aku ikuti sarannya itu. Bagiku selagi aku mampu, aku tidak akan pakai. Begitu kilahku.

                                                                        ***

            Sudah seminggu ini  aku selalu  pulang malam. Tekanan pekerjaan yang menuntut agar lebih cepat. Pekerjaan  memang cepat selesai, namun tubuh ini taruhannya.

            “Mengejar target produksi tapi tak tidur,’’ gumamku.

            Bayangkan bagaimana lelahnya aku seminggu lebih ini tanpa jam tidur yang cukup dan teratur. Jangankan teratur, cukup saja tidak. Malah lebih sering kumengadu kedua mata dengan layar tv  dan handphone. Terbayang akan saran Marco, untuk memakai dumolid.

            “Hanya obat Sud.’’

            Kata – kata Marco yang seakan mendorong keinginanku untuk mencoba obat itu.

            Besok akan  kutanya Marco. Aku tahu dumolid itu bukan benda yang lazim terdengar dari percakapan   umumnya. Perlu saat yang tepat dan lokasi yang pas untuk menanyakannya pada Marco.

            Mata ini memang sedang memburu sosok Marco, ke mana dia pikirku. Tanpa kusadari ada yang berbisik di sampingku.

            “Hai..Raja Malam.”

            Refleks Aku  menoleh. Sial Marco.

            “Co, aku ingin bicara sama kamu.”

            “Ada apa Sud, mau curhat lagi kalau semalam tidak tidur?”

            “Bukan di sini, yuk.”

            Kubawa Marco ke tempat yang lebih aman. Aku masih pemula dengan hal seperti ini, sehingga aku malu, kaku membicarakannya di tempat umum. Tapi bagi Marco, dia sudah hapal kode pembicaraan perihal ini walaupun di tempat ramai sekalipun.

            Aku memang selalu menceritakan  keadaanku padanya. Marco memang sahabat baik. Dia memang lincah, energik. Hal itu yang membuatku ingin meminta saran darinya.

            “Ada, kalau kau mau aku pesankan.”

            “Mahal tidak, Co?”

            “Tenang Sud, umtuk kita kalangan artis, itu mah murah.”

            “Ok, aku pesen.”

            Marco hanya menatap mataku dalam. Entah apa yang ada di benaknya.

                                                                       

            Kali ini kepulanganku dari kerja tidak dihantui rasa takut. Ya, takut kalau tidak tidur. Apakah ini baru awal dari sugesti kata – kata Marco.

            “Kamu akan tidur tenang dan bahagia Sud.”

            Kata – kata Marco memang mengesankan, walaupun dia tidak mengatakan kamu mudah tidur nantinya, tapi kamu akan tenang dan bahagia. Memang ketenangan yang aku butuhkan.  Dengan perasaan masih ragu, kubuka plastik bening pemberian Marco.

            Dumolid, tulisan itu terpampang jelas di kemasan  yang kubuka. Benda ini memang termasuk dilarang peredarannya secara bebas, karena takut disalahgunakan. Tapi tak ada pilihan lain, ketika perasaan lelah dan kurang tidur merasukiku. Aku ingin tenang.

 

            Aku masih terpana, menatap enam orang berbadan besar lagi tegap dan di antara mereka ada yang mengenakan seragam.

            Angin malam yang sedari tadi membisikku tiba – tiba hilang, pergi bersama gelapnya malam. Kini aku kepanasan, keringat dingin kurasakan di sekujur tubuh. Mereka akan menangkap, batinku tersentak. Lalu dua di antara mereka memegang tanganku dengan erat, mencengkeram pergelangan tanganku. Sebagian dari mereka memasuki kamar. Ya ampun, kamarku.

            “Lapor pak, kami menemukannya,” kata salah satu dari mereka lagi.

            Apes aku malam ini. Mengapa bisa mereka tahu. Selama ini aku berusaha menyembunyikan benda itu. Tapi, akh. Aku meradang.

            “Saudara Sudi, anda harus ikut kami ke kantor untuk menjelaskan kepemilikan benda ini,” perintah seorang yang memakai seragam.

            Aku tak melawan, aku turuti mereka. Aku sadar apa yang kulakukan selama ini salah. Karena ketergantungan obat itu. Tapi juga butuh. Bukan salahku. Aku terus meracau dalam hati.

            Langkah gontai mengiringiku menuju mobil polisi, ada perasaan malu yang berkecamuk. Bagaimana tidak, aku yang seorang artis, publik figur, yang menjadi sorotan bahkan tak sedikit yang menjadikanku teladan hidupnya. Kini di tangkap karena dumolid.

            Langkah kaki kian berat akan di bawa, ada penyesalan yang menyelinap tiba – tiba. Mengapa aku minta saran yang aneh – aneh dari teman. Oh  sial.

            Menaiki mobil terpaksa kepala ini harus ku angkat, berat. Astaga  Marco!/DG

           


Posting Komentar untuk "Cerpen # Bantal Dumolid "