Cerpen # Bergaji Darah

 


   





Bergaji Darah

Oleh : Dodi Goyon


 

   “Sudah enam bulan ini gaji kita tidak dibayar, memang kita robot, kuli Jepang?”

            Panus sudah tak tahan, meradang tanpa lawan dia malam ini. Di dalam tenda sempit kami ini suara Panus mendominasi. Kami  malas untuk ikut berkomentar atau berniat membujuknya untuk lebih sabar. Aku hanya terduduk bertelanjang dada, sesekali jari tangan memilah sisa tembakau yang mengendap di ujung kantong plastik. Sudah kritis, soal rokok saja kami harus berhemat.

                “Kalian di sini memang tak ada yang peduli, tak ada yang berani. Pengecut, makan apa kalian kalau tidak digaji, liat mandor bangsat  itu, dia bersenang – senang, berjudi. Habis uang kita di makannya,”  Panus melanjutkan marahnya.

             Mandor kami itu memang tak becus, dia sengaja menunda gaji kami, anak buahnya. Memangnya tak perlu makan apa,  kami di kebun ini.

Bukanlah perkara mudah mendodos buah sawit yang hampir lima meter di atas kepala, nyawa taruhannya bila salah - salah buah sawit menimpa.

             Sudah sering juga kami berdemo, mengutarakan aspirasi menuntut  gaji, belum lagi pesan yang dititipkan masing - masing keluarga kami di rumah. Tapi dengan entengnya mandor kami beralasan belum ada diberi uang dari atasan, omong kosong. Panus sering melihatnya mengunjungi lapak dadu di ujung kampung.

            Gaji kami memang seminggu sekali, setiap jumat sore kami menerima upah. Tapi itu hanya minggu pertama setiap bulannya. Sudah enam bulan dan ada dua minggu tersisa dari setiap bulannya yang belum dibayar, total duabelas minggu kami tak digaji.

              Setiap hari makan mi instan, dan pucuk daun ubi. Sedangkan tenaga yang dibutuhkan tak sebanding dengan asupan makan.

             Aku juga sudah tak ada pilihan lagi untuk tidak bekerja di sini, tak mungkin juga aku melamar jadi PNS   karena hanya memiliki ijazah SMP, belum lagi ada anggapan tak ada orang dalam tak akan bisa jadi pegawai negeri. Itu sebabnya aku bekerja seperti ini, di perkebunan yang tak mungkin ada istilah orang dalam, karena kami semua bekerja di alam terbuka. Tak terkecuali mandor kami itu.

              “Tius, aku sudah tak tahan, kau mau ikut malam ini dengan aku?” Ajak Panus.

               “Ke mana Nus, menagih Mandor bangsat itu?  Dia tak akan ada di mes-nya,”  jawabku malas menanggapi ajakan Panus.

               “Bukan, bukan menagih si babi itu, aku sudah lelah juga dengar alasannya kalau ditagih, aku memang ingin ke mes-nya, tapi bukan menagih.”

               “Lalu buat apa Nus?” tanyaku penasaran.

             “Ikut tidak?  aku sekarang sudah tak ada uang, malu sama istri di kampung,  Yus. ''

              “Yoklah”

             Aku sebenarnya belum paham ke mana dan akan melakukan apa nantinya dengan Panus. Ringan saja badan ini mengikutinya. Kemungkinan karena tak tentu makan jadi badan ini kurus mudah di bawa ke mana saja. Tapi memang benar, kata orang - orang. Kalau kita sudah lapar apa saja di suruh orang lain kalau tujuannya makan pasti mau. Begitu juga, kalau kita lagi tak punya uang, jika diajak teman kalau ujung - ujungnya uang pasti ringan saja mengikuti ajakannya.

             Sampai kami di mes. Sepi tak ada tanda - tanda orang berada di dalam. Tak ada dengkur si mandor, hanya sesekali suara tokek yang sinis disahut suara jangkrik yang  nakal. Lampu minyakpun tak menyala. Hanya bias cahaya bulan yang menyelinap disela - sela dinding papan.

              “Nus, kita mau ngapain di sini, mandor bangsat itu tak ada. Tak ada dia tak akan ada uang. Ada dia saja, pasti gaji kita tak akan dibayar.” Bisikku pada Panus.

              Panus tak langsung menjawab, di putar - putarnya kepala senter,  ia mengatur cahaya senter yang mulai lindap, dipukulnya sentar tadi berkali - kali di tangannya. Terang lagi. Nampaknya senter itu juga sudah hampir sekarat, sama seperti kami, sekarat.

             “Bangsat itu tak ada, bagus. Kau liat di belakang sana Yus! di belakang mess.”

             “Apa Nus? Liat apa, gelap,” aku tak mengerti sebenarnya maksud Panus, bukan karena gelap, instruksinya samar bagiku.

              Panus kembali memukul kepala senter ke telapak tangannya beberapa kali. Diarahkannya cahaya senter ke arah belakang mes. Kemudian dia menyuruhku ke sana.

              “Liat barang itu, kita ambil dan jual Yus,” Cahaya senter Panus sekarang fokus pada sebuah mesin air di belakang mes.

              “Kita ke sini mau mencuri mesin itu?” tanyaku berbisik seraya tak percaya itu rencana kami sebenarnya ke sini.

              “Iya Yus, aku tak tahan lagi menunggu awal minggu bulan depan, bisa mati aku. Kau kira aku tahan makan indomie terus.”

               “Tapi bagaimana kalau bangsat itu tahu Nus, bisa di pecat kita, gaji kita tak akan di bayar juga Nus,” aku berusaha meredam niat jelek Panus.

            Panus tak peduli, dia malah menyuruhku mememang senter dan dia mulai melepaskan mesin air yang masih tersambung pipa.

              “Kalau kamu boleh tahan Yus, aku tidak. Istriku di kampung juga butuh uang. Percuma aku kerja tak bergaji, tak ada kiriman sudah berapa bulan ini,” jawab Panus, tangannya masih cekatan memisahkan pipa dengan mesin.

              “Tapi kita bisa ke sini lagi besok pagi Nus, kita ketemu  si babi itu, kita tagih gaji yang belum dibayarnya. Jangan sembrono, aku takut kita di pecat tanpa  gaji kita Nus, sia - sia kerja selama ini,” Bisikku lagi.

            Panus tak peduli, tinggal sebatang lagi pipa yang terhubung dengan mesin. Nampaknya dia berhati - hati membuka agar kondisi mesin tidak rusak dan layak lego untuk dijual kembali. Aku tak kalah usaha, kumatikan senter. Gelap kami sekarang. Panus berhenti sejenak kemudian berkata: “Woi. Yus! hidup senternya.”

              Aku tak merespon. Aku sengaja agar Panus mau berubah niat. Masih dalam gelap kami sekarang, Panus berusaha mencari tanganku dan mengambil paksa senter. Dengan kasar dia rebut senter dari tanganku. Lalu dinyalakan dan diarahkannya cahaya senter tepat dimukaku.

             “Kau mau jadi babi juga hah!  aku mau nolong kamu Yus, bangsat kau ini. Kita ini terpakasa mencuri, kalau tak begini tak akan dapat uang dari si babi bangsat itu.” Panus mulai meradang.  Aku tetap pada pendirianku, aku tak mau mencuri, tidak. Pelan aku berbisik lagi tepat di muka Panus.

 “Kalau kau mau mencuri, kau curi sendiri jangan ajak - ajak aku Nus.”

Panus memang keras kepala, sekarang ditekannya senter di tangannya ke keningku, “Woi.. bodoh, kau tak mau, pulang sana kembali ke mes, tapi awas jangan kau bilang aku yang mencuri, kalau aku ketahuan mencuri kau kubunuh Yus, ingat!” ancam Panus lagi.

             Aku pulang kesal dalam kegelapan. Tapi tak apa daripada pulang terang dengan hina membawa hasil curian. Kalaupun terjual uangnya paling sampai satu minggu bertahan, belum lagi akan dibagi ke istri Panus di kampung.

             Tak apa, besok akan kuhadapi mandor biadap itu sendiri. Akan kutagih hakku.

                                                                         ***

 

             “Yakin kamu pulang yus, bagaimana gaji kita?” tanya salah seorang temanku.

              “Ah, sudahlah aku tak mengharap gaji lagi, aku akan kerja di tempat lain,” jawabku enteng.

               Aku sudah malas terlalu banyak berharap dari mandor kami yang culas itu, manusia laknat. Tak ada sepertinya rasa prihatin di hatinya. Melihat anak buahnya yang kerja keras di kebun sawit; memupuk, menyiangi, memanen. Keringat dan darah kami tak ada harganya. Itupun tak bisa membuatnya prihatin sedikitpun, dia malah berleha ke ujung kampung  bermain judi.

             Aku sekarang ingin pulang secepatnya, aku juga tak ingin berlama - lama tak ingin rahasia Panus dan aku di ketahui teman - teman di sini.

   O iya, ke mana Panus. Apa dia pergi ke kampung di ujung kebun sawit ini ,  menjual mesin jarahannya semalam. Atau malah asyik menerka dadu juga sama dengan si mandor laknat itu.

   Belum lama dipikirkan, manusia yang tak disangka datang. Dengan terengah - engah Panus si pencuri mesin air datang ke mes. Mukanya pucat bukan karena lapar atau kelelahan mendodos buah sawit. Dia berlari dari arah mes mandor, belum sempat duduk sambil terbungkuk - bungkuk tangannya memegang perut. Dengan napas ngos – ngosan, wajah yang pucat pasi.

              “Celaka, babi itu mati, lehernya hampir putus,nampaknya dia dibunuh dengan besi dodos.”

   “Babi mana, tidak ada babi di kebun kita?” tanya salah seorang teman kami di mes.

               “Mandor,  mandor kita itu, sekarang dia mati terbunuh di mesnya, mengerikan ayo kita kesana!” Panus sudah berlari meninggalkan kami menuju mes,  tanpa dia peduli reaksi kami selanjutnya.

              Aku hanya terdiam, teman - teman di sampingku berhamburan menuju mes, akan melihat bangkai manusia yang tak punya rasa prihatin itu. Aku panggul tas bajuku karena aku memang akan pulang tadinya.

 Biarlah aku tak akan membongkar rahasia Panus yang mencuri mesin tadi malam, mungkin itu juga yang akan menjaga rahasiaku subuh tadi, rahasia berdarah yang melebihi pencurian mesin air./DG


Posting Komentar untuk "Cerpen # Bergaji Darah"