Cerpen # Buih Dengki di Sungai Sekayam
Buih Dengki di Sungai Sekayam
“Dengan
ini saya nyatakan kampung wisata Sekayam
dibuka’’
Riuh tepuk tangan menyertai pemotongan pita peresmian
dari pak bupati. Tepuk tangan bapak – bapak tegas berharap dampak positif
hadirnya kampung wisata. Telapak tangan ibu – ibu tak mau kalah berharap
peningkatan ekonomi rakyat dengan adanya publik area ini. Anak – anak bersorak,
bertepuk tangan, meloncat, bergembira ria
mereka karena mendapat taman bermain sehingga tak lagi meloncat
menghibur diri di ketinggian pohon Bugor yang menjorok ke sungai.
“Saya berharap kita semua bisa menjaga agar,
wisata kampung Sekayam ini bisa menjadi perekat persaudaraan kita. Saling
menjaga agar tetap rukun, damai dan terpenting kebersihan dan keindahan kampung
ini.’’
Kembali riuh tepuk tangan warga mendengar closing statement dari orang nomor satu
di daerahnya itu. Bermesraan sorak bersama angin selatan yang membawa bunyi ke
angkasa. Berirama seakan patuh dan tunduk pada pesan penutup itu. Tapi, tidak. Nampaknya
angin selatan terlalu kencang berhembus. Tak meninggalkan sedikitpun petuah
akhir dari sang bupati menempel kuat di hati para warga. Hanya belaian saja di
telinga – telinga para pendengar.
***
Kursi
kedai terpelanting.
“Mereka
sudah aku boking. Harus masuk
kedaiku. Lihat! Motor mereka juga singgah di parkirku,’’ bang Dolah sudah tak
mampu menahan marah. Kakinya garang menendang kursi yang tanpa bersalah di
kedainya bang Seman.
“Kau
jangan marah Dol. Pengunjung yang memilih rasa. Bisa jadi kedaimu tak berasa.
Minumanmu tak semanis ajakanmu mampir kepada para pengunjung,’’ bela bang Seman
sembari tangannya memperbaiki posisi kursi.
“Sekarang
kau boleh menang Man, lihat nanti!’’ ancam bang Dolah.
Kembali
bang Dolah ke kedainya. Tersandar ia menahan gusar. Sampai hati si Seman
mengambil pelanggan yang sudah nyata – nyata parkir di samping kedainya.
Seharusnya Seman punya otak. Mikir sedikitlah. Malu barangkali. Mengambil
peluang rezeki orang lain. “Kampung
wisata inikan milik bersama bang. Sabarlah mungkin bukan rezeki kita,’’ tenang
istri si Dolah.
“Kampung
wisata ini memang milik bersama dek, tapi kedai beserta isinya dan juga parkir di sebelah sana itu hak kita,
tanah kita dek,’’ sahut Dolah membela.
“Iya
betul bang, tapi jangan egois seperti itu dong. Memaksa orang lain ke kedai
kita pakai tendang kursi segala, malu bang malu,’’ nasehat istrinya lagi.
“Ok.
Aku tak egois lagi. Tapi lihat kedai ini akan sepi!’’ bentak Dolah kemudian
pergi.
Sepanjang
sungai Sekayam itu memang berjejer kedai – kedai kecil milik warga. Beraneka
makanan minuman tersedia di sana. Para pengunjung memang terkadang dibuat
bingung. Memilih kedai – kedai yang sudah menjamur sepanjang bibir sungai.
Semua warga kampung di situ berharap kedainyalah yang dikunjungi warga.
Berbagai
cara dilakukan. Mulai dari menu, ibu – ibu mulai meracik olahan makanan ringan
dan sedang. Dari makanan khas kampung sampai harus bertanya resep luar negeri
melalui mesin pencari. Sedangkan kaum bapak – bapak sibuk mendekorasi kedai
agar lebih menarik. Kursi, meja yang semula memiliki fungsi asal sebagai tempat
duduk dan meletakkan makanan, sudah berubah fungsi menjadi latar manis penuh
karya seni yang sangat baik untuk sekedar berfoto ria.
“Aku
akan buat kedaiku tampak lebih wah. Ter- wah dari milik si Seman,’’ gumam bang
Dolah.
Mulailah
Dolah menyulap kedainya menjadi lebih keren dan wah. Lampu kelap – kelip
dililitkan di sengkang – sengkang. Lampu dibuat lebih modis, sengaja
dipanjangkannya tali – tali lampu biar mirip dekorasi industrialis pikirnya.
Taplak meja diwarnai dengan berbagai jenis bunga agar lebih romantis. Begitu
juga penyajian makanan,’’dek nanti nasi goreng kau saji mirip hati ya. Taukan,
seperti ini,’’ kata bang Dolah memperagakan bentuk love dengan jarinya.
Istrinya
hanya mengangguk. Karena belum juga selesai memahami berbagai resep baru dari
itali yang ditawarkan suaminya. Sungguh heroik sekali kalau sukses istrinya memahami
tulisan resep berbahasa itali itu.
“Kedai
sudah keren, menu sudah menyatu dengan lidah. Apalagi ya?,’’ gumam bang Dolah.
Matanya
tertuju ke arah parkiran. Bukan dekorasi yang terpintas di otaknya. Pikiran bejat
bermain. Tersenyum ia. Terkekeh setan yang bergelayut di pundak kirinya.
Melihat deretan motor – motor di parkiran si Seman yang juga bersebelahan
dengan parkir miliknya.
***
Sementara
si Seman akhir – akhir ini merasa kedainya sepi. Pengunjung kurang. Diliriknya
kedai milik tetangga semakin ramai. Apalagi pengunjung Dolah. Lebih banyak dari
biasanya.
Sakit
hatinya melihat para remaja yang asyik berfoto ria dengan kursi dan meja lucu
milik Dolah. Ingin muntah ia melihat para pengunjung dengan lahapnya menikmati
makanan yang dihidangkan istri si Dolah.
“Sial.
Dolah sudah mulai main curang. Pakai jin, anak hantu pelaris,’’ gusar Seman
dalam hati.
***
Sore
ini senja begitu damai. Beberapa burung layang – layang merendah di permukaan
sungai Sekayam. Menukik bergiliran membasahi tubuh di akhir masa siang. Tapi
tidak dengan bang Seman tak ada kedamain
sejak ia melihat kedai si Dolah mulai ramai. Kalau kedai lain ramai tak
masalah, tapi jangan sampai kedai si Dolah. Sepertinya itulah rivalitas tanpa
batas bagi bang Seman.
Semangat
para burung menukik di sungai. Begitu juga hati bang Seman yang terlanjur
geram. Bersemangat ia menuju kedai Dolah sang rival.
“Dolah...woi
keluar kau. Sudah banyak kah anak jin yang kau punya? Kalau ingin bersaing yang sehat. Jangan main
kotor pakai pelaris,’’ damprat bang Seman.
“Eh..eh..eh.
Sedapnya mulut engkau Man. Tuduh seenak perut,’’ bang Dolah langsung manas.
Pengunjung
bang Dolah menepi. Ada yang tadinya hampir berfoto ria terjeda seketika
mendengar sahutan bang Dolah yang keras.
“Kau
pakai jin Dol, kau curang. Lihat kedai aku ramai sekarang kau culas,’’ lanjut
bang Seman.
“Eh..lagi
yaa...ngomong pakai mulut jangan semau perut. Kau lihat aku pelihara jin
hah? Pengunjung memang suka menu aku
Man, kedai aku bagus, keren,’’ balas bang Dolah tak mau kalah.
“Tak
mau ngaku kau Dol. Woi pengunjung, Dolah nie pelihara jin. Mau kita makan menu
buatan jin hah?’’ bang Seman mulai provokasi.
Bang
Dolah semakin geram. Tak suka dia cara Seman menjelek – jelekan kedainya di
depan para pengunjung.
Dihampirinya
si Seman. Tanpa ba bi bu, satu
pukulan mendarat di wajah lawan bicaranya. Seman tersungkur. Hampir saja kursi
manis diangkat bang Dolah untuk menghantam bang Seman.
Para
pengunjung lelaki melerai keduanya. Mereka merebut kursi yang dipegang bang
Dolah.
***
Bang Seman telah tersandar di lesehan kedainya. Meminum
teh manis buatan sang istri.
“Pak, tadi para pengunjung protes ke ibu,’’ kata istrinya
membuka kisah.
“Protes ngapa bu?
Makanan ibu asin?
“Bukan, bukan makanan pak, tadi pas pulang ada lima motor
yang bannya bocor kena paku. Mereka protes pak, katanya di parkir kita banyak
paku.’’
Bang Seman membuang napas. Perih hantaman tangan Dolah
masih terasa di mukanya./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # Buih Dengki di Sungai Sekayam "