“Apa, Kalimantan
mas. Mengapa harus ke sana? Sumatra kek, atau masih daerah Jawa saja kenapa?’’
Suamiku diam. Meski mendapat protes berat dariku.
Diamnnya, berarti iya. Iya, mas Wanto harus mengikuti aturan dari
perusahaannya. Dia akan ditugaskan di Kalimantan sebagai salah satu pimpinan
cabang pembantu sebuah bank swasta.
Aku juga harus ikut. Karena tak ada teman di sini. Orang
tuaku di Sumatra dan kami harus meninggalkan Surabaya lusa. Secepat itu, ya.
Perusahaan memang butuh orang dari luar Kalimantan kata mas Wanto, dan hanya
dia yang mau ditugaskan ke luar Jawa. Aku hanya bisa menggerutu saat ikut
berkemas barang – barang persiapan kami.
“Kau harus siap. Merantau bukan hanya untuk penjual cilok
saja. Dan kau meski tahu juga Kalimantan yang kita tuju tak seperti kota kita
saat ini. Jadi siapkan mentalmu, jangan terikat oleh tanah kelahiranmu,’’ mas
Wanto mengingatkanku. Tangannya sibuk menekan paksa isi koper seakan
memantapkan niatnya yang juga menurutku belum terlalu bulat untuk merantau.
“Akan lama kita di sana?,’’ tanyaku ragu.
Mas Wanto tak menjawab. Ia mengemas berkas – berkas yang
masih berserakan di atas kasur.
“Mas, aku tanya lho. Lama tidak?’’ paksaku sebel.
Di tatapnya mataku, pelan ia mengusap manja kepala yang
masih memendam kesal,’’ ikut saja sayang.
Lama atau tidaknya kita harus bersama. Ok,’’ kecupan bibirnya dingin di
kening, kemudian menghilangkan sedikit cemasku.
***
Kalimantan Barat. Tepatnya di kabupaten S suamiku
ditugaskan. Sebuah kota yang sepi bagiku dibandingkan dengan kota Surabaya.
Masih menurut mas Wanto kota S ini hanyalah kota perlintasan, tak seperti ibu
kota Kalimantan Barat, Pontianak yang menipuku saat pertama kali melihatnya
dari atas pesawat.
Aku sempat mengira tadi kami akan ditempatkan di kota
Pontianak. Karena Mas Wanto diajak ke kantor cabang area dahulu. Setelah itu
kami diarahkan lagi menuju kota S yang berada di hulu bumi khatulistiwa ini.
“Di sana sudah
disiapkan rumah kontrakkan Pak Wanto, ini alamatnya. Besok bapak bisa
berangkat bersama beberapa teman dari Pontianak ke sana,’’ tutur seorang karyawan.
Malam ini kami menginap di hotel dulu. Besok akan
berangkat, katanya medan cukup berat. Sekitar empat jam lebih waktu tempuh. Ya
ampun, malas aku membayangkannya.
***
Rumah ini cukup besar. Bahkan ada lantai duanya.
Arsitekturnya lama, iya kulihat daun jendela nampak lebih tinggi dari ukuran
biasannya. Langit – langitnya jauh. Lantai bagian dalam hanya semen dihaluskan
tanpa keramik.
Di depan rumah. Sedikit menyerong ke arah kanan terdapat
sebuah tugu yang menjadi pembatas sebuah simpang tiga.
Dari rumah inilah pengalamanku sebagai orang baru di
tanah Kalimantan dimulai. Di tanah yang penuh dengan kisah – kisah misterinya.
Dan entah mengapa tugu di seberang sana seperti memberi ucapan selamat datang
yang menyeramkan.
Setiap kali aku melihat tugu itu seakan ada hawa aneh
yang datang bersamanya. Bentuk yang aneh. Menyerupai manusia dengan kostum
serba hitam, juga bertopeng lebar. Persis penari topeng Bali. Aku tak habis
pikir mengapa sampai ada tugu yang dibangun menyerupai hantu.
Kalau di daerahku kebanyakan tugu – tugu selalu mewakili
wajah para pejuang, atau hewan dan tumbuhan.
“Hanya tugu...ah, kamu terlalu memikirkan sesuatu yang
tak perlu sayang.’’ Hanya itu kalimat yang mas Wanto ucapkan ketika aku bicara
masalah tugu itu.
Mas Wanto yang keseringan pulang malam saja tak memiliki
perasaan takut. Apakah perasaanku ini
karena masih mengenang daerah asal. Atau, ah. Malas juga aku terus menanam
bibit ketakutan dalam benakku.
Tapi tak bisa. Seperti sore ini, cuaca sedikit gelap.
Awan – awan hitam sudah memberi isyarat kedatangan musim baru. Pekatnya sungguh
lekat. Seperti bukan awan, tapi langit yang menghitam.
Seperti biasa aku menyapu teras. Merapikan beberapa pot
bunga yang menjadi pembatas pandangan dari monotonnya corak aspal di seberang
sana. Awanpun perlahan membisikku dengan suara hujan. Rintiknya pilu,
menggelitik sela – sela dedaunan. Anginpun berhembus lirih, memainkan nada –
nada aneh yang mengerikan dari lonceng angin yang entah berapa lama sudah
bergelantung di kusen jendela.
Semakin semarak hujan menabuh. Riuh angin bergemuruh.
Seketika itu ekor mataku melirik jauh ke arah tugu. Kilat – kilat yang menampar
cepat bagian tugu membuat fokus pandangan tepat ke arah topeng tugu yang sudah
hampir dimakan gelap.
Tersenyum lebar, mengerikan. Dengan mata topeng merah
melotot tajam. Kilau putih dari petir menyambar. Membuat tugu itu seolah
terkakah – kakah bahagia menyambut sebuah perayaan misterius.
Aku bergegas masuk tanpa memedulikan sapu yang terlepas
dari tangan karena kaget. Angin menyusup mengikuti dari sela – sela daun pintu
yang menyusul tertutup.
“Mas ...kapan kamu pulang. Ya ampun....,’’ aku berharap
cemas. Tapi tak bisa berbuat banyak karena Mas Wanto pasti juga akan menunggu
hujan reda dan kembali pulang malam. Hanya dingin yang menemani. Usapan berkali
– kali pada lengan tak bisa mengusir hawa yang mencekam.
***
“Sayang, tukang korannya datang. Ambilkan gih,’’ pinta
Mas Wanto. Ia masih menikmati sarapan.
Aku bergesas ke beranda depan. Tersenyum tukang koran
menyulurkan surat kabar dari luar pagar. Sekali gas, motornya kembali
berkeliling komplek.
Belum jauh kaki berbalik hendak meninggalkan pagar.
Terdengar panggilan pelan yang mendadak,’’bu telur puyuhnya. Murah kok.’’ Panggilan itu memaksakan aku menghadapkan
tubuh kedua kalinya ke arah pagar.
Tampak seorang nenek. Dengan mengenakan baju putih namun bukan baju gamis, lebih mendekati kebaya. Dengan bawahan kain batik. Mukanya sangat renta, sehingga tak sampai hati kiranya aku menolak tawarannya.
“Berapa nek.’’
“Murah lima ribu aja bu, mau berapa bungkus?’’
Sebenarnya aku tak menginginkan jualan nenek ini.
Tanganku tanpa sadar sudah meraba saku
di samping celana. Ada.
“Ini nek satu saja cukup,’’ tanganku menjulurkan lembar
lima ribuan tadi.
“Terimakasih bu,’’ sang nenek memberikan bungkusan telur
puyuh ke arahku.
Aku kembali ke dalam dengan bungkusan dan koran di
tangan. Seperti sudah sehati. Entah tanpa disadari mata ini dengan mudahnya
menatap kembali tugu di seberang sana. Mengamati retaknya, bagaikan urat – urat
yang menjalar penuh di sekujur tubuh manusia. Kusam dan mengelupasnya cat,
terlihat seperti borok – borok yang menyeramkan. Hujan semalaman seakan membuat
mata merah topeng tugu itu terlihat menangis darah.
Perlahan tangan mengusap belakang leher. Aku bergegas.
Bulu tangan sudah mulai melonjak.
“Mas ini korannya.’’
“Terimakasih sayang. Lho, itu apaan?’’
“Telur puyuh, tadi ditawari nenek yang jualan keliling.
Aku ke belakang dulu ya, bikinin kopi.’’
Mas Wanto tak menyahutku. Ia fokus ke bacaannya sekarang.
Aneh tatapan matanya tak seperti biasanya. Keningnya mengkerut sehingga alis –
alis tebalnya akan menyatu. Dalam tatapannya.
“Sayang. Penjual puyuh tadi nenek – nenek kan?’’ tanya
mas Wanto menahan langkahku menuju dapur.
“Iya mas. Kenapa?’’ tanyaku mulai penasaran.
“Pakai kebaya putih?’’ tanyanya lagi.
“Lho kok Mas tau?’’
“Sayang. Lihat ini...lihat....!’’ Mas Wanto memaksaku
melihat koran.
“Mayat seorang nenek penjual telur puyuh ditemukan
setelah tiga bulan menghilang,’’
/DG
Komentar
Posting Komentar