Cerpen # Politik Ayam
Kaki ini untuk mengais bukan untuk mengemis, apalagi
sampai menangis. Taji ini untuk kepahlawanan yang akan melawan, bukan yang
menjilat dengan memuji. Kokok tegas dan lantang untuk kobarkan semangat di pagi
hari, bukan menyeringai untuk memaki.
Pagi ini ayam kampung itu kembali menggelorakan semangat
sekawanan ayam kampung lainnya. Berkokok ia memberi komando, dilanjutkan dengan
sautan bertalu – talu kokok ayam lainnya.
Kepakkan sayapnya tegas. Bertengger ia di dahan terendah
pohon rambutan. Ditatapnya sekeliling yang masih gelap. Ayam lain sudah turun
di tanah. Kembali ia berkokok, sekawanan ayam yang di tanah berkumpul.
“Hari ini kita harus protes kepada tuan kita. harus!’’
Berkokok lagi ia. Sang ketua ayam kampung. Hari ini
mereka akan menuntut keadilan dari sang tuan. Semenjak kedatangan ayam ras
putih itu, mereka sebagai ayam kampung merasa diperlakukan tidak adil.
“Haruskah kita protes ketua?,’’ tanya salah satu ayam
kampung lainnya.
Sang ketua kembali mengepakkan sayapnya. Sejurus berkokok
menyambut sang fajar yang menyapa majelis mereka. Terjun bebas ia. Berdiri
tegap di depan sekawanan ayam kampung lain.
“Mengapa tidak? Kau mau makan dari sisa ras pendatang
itu. Hanya karena kau tak ingin lelah mengais dan santai mematuk sisa makanan
yang terjatuh di bawah kandang,’’ lanjut sang ketua.
“Mereka memberi kita ketua. Kemarin kudengar ayam ras itu
bicara dengan temannya,’ jatuhkan saja makanan kita, kasian ayam kampung itu
mengais tak tentu rudu,’ mereka itu baik ketua,’’ bela ayam kampung yang lain.
Ayam ketua tak menjawab langsung. Mendekat pelan ke arah
kawannya. Seketika berdiri bulu lehernya, dengan jengger yang lebar ia
menunjukkan wibawanya sebagai ketua ayam kampung.
“Kau ini bodoh. Jangan karena kita ayam kampung hidup
dari belas kasihan ayam ras itu. Makan dari hasil sisa. Kau tahu hah?!, itu
makanan sudah tercampur kotoran di bawah kandang. Kau juga tak tahu kebanyakan
dari ayam ras itu berkotek nakal menghina kita.’’
Ayam lain manggut – manggut. Apa yang dikatakan sang
ketua benar. Walaupun sebagian dari mereka sudah pernah mematuk makanan bekas
yang berserakan di bawah kandang.
“Lalu bagaimana ketua?, lantas kita harus satu kandang dengan mereka, pastilah
ayam – ayam manja itu tak sudi dengan kita yang berkutu seperti ini.’’
“Tuan kita yang diprotes. Hari ini siapapun dari kalian
yang ingin buang kotoran maka pergilah ke teras rumahnya dan kotori dengan banyak.’’
***
“Ayam – ayam pengangguran, nakal, tanpa pendidikan. Sial
kalian, berak sembarangan. Kalian kira keramik terasku ini wc apa?’’
Sang tuan meradang. Sebagai pemilik kekuasaan atas ayam –
ayam ia merasa pantas mengeluarkan sumpah serapah yang memuaskan hatinya. Benci
ia hari ini karena ulah ayam yang protes kepada dirinya.
Baginya ayam kampung
bisa mencari makan sendiri. Mengais sendiri dan pulang sendiri. Bukannya
malah bersantai di depan rumah berharap
akan diberi makan. Sekarang lihatlah kotoran sialan yang menjadi salam
hangat dari ayam kampungan miliknya itu.
Sang tuan akan merasa bahagia kalau ayam kampungnya itu
saling beradu memperebutkan makanan. Saling cakar, patuk, dan hantam taji.
Karena itulah ajang pencarian bakat baginya untuk memilih ayam yang menjadi
jagoannya di arena sabung ayam.
Kokokan. Nampaknya tak menjadi perhatian lebih sang tuan
untuk menilai baik tidak ayam kampungnya. Karena ia bukanlah manusia yang
terpaku kepada kokokan ayam sebagai penunjuk waktu.
Perihal rezeki, bukan ayam kampung yang memberinya
kepuasan saat ini. Tapi ayam – ayam ras itu. Dengan dagingnya mereka berusaha
menyenangkan hati sang tuan. Karena mereka tahu potensi yang dimilikinya.
Pastilah tuan akan memberikan umpan yang enak, minum yang segar. Belum lagi
fasilitas kandang yang bersih dengan lampu – lampu penghangat dan dimanjakan
dengan mandi seminggu sekali.
Lihat ayam kampung itu. Kumuh dekil, berkutu. Berkokok
nyaring ketika tak makan, ribut perkara dahan tempat bertengger setiap malam.
***
“Eh...kalian dengar tuan menggerutu,’’ tanya ayam ras
kepada kawannya.
“Menggerutu kenapa?’’ jawab ayam lain.
“Kau tak dengar, sewaktu ia mengorek – ngorek kotoran
kita di bawah kandang tadi?’’
“Apa ...,apa yang dia bilang?’’ simak ayam lainnya.
“Ternyata ayam – ayam kampung sedang dimarahi oleh tuan
kita. Tadi lamat – lamat kudengar kalau
ayam kampung telah mengotori teras rumahnya dengan kotoran mereka.’’
Ayam lain terkekeh mendengar obrolan mereka. Bagi mereka
betapa bodohnya ayam – ayam kampung itu.
“Oleh karena itu kawan, kita harus pandai – pandai
mengambil hati tuan kita. Makanlah yang
kenyang karena dia suka kita makan banyak.’’
“Tapi ada bodohnya juga tuan kita ya?’’ pancing ayam ras
yang lain.
“Bodoh? Bagaimana bisa tuan kita bodoh.’’
“Dia sih tidak bodoh, tapi bila mengais dan mengorek
kotoran kita di bawah sana seakan – akan terlihat bodoh bukan. Sekiranya aku
mau membuang kotoranku dari atas sini tentu sudah habis tuan kita di bawah
sana.’’ Jawab ayam ras tadi dengan tertawa.
“Sudahlah jangan kau usil. Selagi kita aman bisa makan
enak, tak perlu mengais. Mengapa kita perlu memikirkan tuan kita yang mengais
kotoran kita. Di sinilah pergantian kekuasaan sementara teman, dia di bawah,
kita di atas. Kapan lagi memanfaatkan kekuasaannya.’’
“Licik kau kawan,’’ kata ayam ras lain menimpali.
“Bukan licik, tapi begitulah. Dia terus memanfaatkan
daging kita. Kalau kau bisa mengotori dia sekarang silahkan, mumpung kita
berada di atas.’’
***
Sekarang ayam kampung sedang berkumpul. Menikmati senja
sebelum mengepak sayap meloncat ke dahan menuju peraduan.
“Ketua aku tadi sedang mengais makanan di dekat kamar
mandi sang tuan. Banyak juga cacing di situ. Bukan hanya cacing ketua, ketika
aku asyik mematuk beberapa telur cacing terdengar sang tuan yang berisik di
kamar mandi,’’ cerita salah satu ayam kampung. “Berisik
bagaimana?’’ tanya sang ketua ayam kampung.
“Lucu ketua, ternyata tuan kesal dengan kotoran kita yang
ada di terasnya. Bukan hanya itu, dia memaki dan menyumpah ayam ras juga,’’
lanjut ayam kampung tadi.
“Memaki ayam ras, mengapa?’’ tanya ketua lagi.
Ayam kampung yang bercerita tadi melompat ke dahan
menyusul sang ketua yang terlebih dulu bertengger. Lantas berbisik seakan
menyembunyikan aib dari pesona sang senja.
Pecah kokok ayam
kampung di sore itu melebihi saut –
sautan kokok di waktu subuh./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # Politik Ayam "