Cerpen # Hidung Si Bekantan

 


Oleh : Dodi Goyon







 

            “Apakah aku harus sama?  Atau mesti berbeda?  Toleransi tidak cukup hanya saling menghargai. Aku sama denganmu tapi bisa jadi berbeda, dan juga kita berbeda namun memiliki kesamaan juga. Tapi bagaimana perbedaan itu bisa menyatukan.

 

            “Apakah aku harus ketemu lebah untuk menyengat hidungku. Mengapa hidung ini berbeda dari yang lain, padahal aku jantan.”

            Seekor bekantan jantan sedang gundah memikirkan hidungnya yang tak panjang dan mengembang. Seharusnya ia memiliki kesamaan dengan teman – temannya. Pasti akan diejek, tak ada betina yang tertarik dengannya saat musim kawin tiba. Jangankan ikut berkompetisi menarik perhatian lawan jenis. Bergaul sesama jantan saja ia malu.

            Lihatlah hidung peseknya. Pendek, nampak seperti buku bambu yang hampir rata memisah ruas. Hilang wibawanya sebagai ras bekantan.

            “Jangan main dengan kami, sana main dengan lutung.”

            Tak ada teman – temannya yang mau mengajak bermain. Tidak untuk satu pohon apalagi sedahan dengannya.

                                                                        ***

            Para bekantan jantan berkaok – kaok. Kembang kempis hidung mereka. Bulat besar perut buncitnya. Menari – nari ekor panjang. Melompat dari dahan – ke dahan mempertontonkan koreografi alam yang sudah malang melintang di pentas hutan.

            Para betina melirik pelan. Rupa – rupa pejantan akan dipilih. Perut yang buncit karena banyak makan tak akan disukai diajang pencarian jodoh ini. Tak suka betina melihat perut lawan jenis yang dipenuhi gas – gas dari buahan dan dedaunan.

 Hidung. Tatapan mereka akan tertuju pada pesona kejantanan yang menawan itu. Semakin besar dan panjang hidung, maka mereka akan terpikat dengan sang penari di musim kawin ini.

Setelah menemukan pasangan, para bekantan akan menikmati dengan tarian yang memukau. Berkejaran jantan dan betina. Sang jantan akan semakin semangat berkaok – kaok, melompat di dahan, mengitari sang betina yang malu – malu mengikuti tarian musim kawin. Tak lupa pesona ketampanan setiap pejantan akan kembang kempis yang membuat para betina semakin jatuh cinta.

Tapi apa daya bagi si Buku. Ya dia sekarang di sapa lebih tepatnya diolok temannya dengan sapaan hidung buku. Tanpa pesona kejantanan yang memukau tak bisa ia memainkan tarian musim. Apalagi bernyanyi dengan irama untuk memikat sang betina yang bersantai di ujung dahan sana.

Ia hanya terduduk, mengusap perutnya yang besar. Semakin ia merasa kesepian, semakin cepat tangannya yang tanpa sadar memetik pucuk dedaunan dan seketika mengunyah dengan amarah.

“Aku akan tanya orang tuaku. Mengapa hidungku beda dari yang lain. Atau bisa jadi benar kata teman – teman, aku anak lutung,” beringsut ia dengan kecewa yang penuh tanya.

Perbedaan ini yang ia rasakan telah merenggut kebersamaannya. Perbedaan yang mencabik persahabatan, menerkam kelompok, memangsa rasa cintanya kepada betina di musim kawin.

“Kau tak beda anakku. Kau sama seperti kami juga. Hidungmu. Kami juga punya nak,” jawab orang tuanya saat ia buncahkan kekesalannya.

“Sama? Dimana samanya. Hidungku rata bak buku di ruas bambu. Sedangkan kalian bergelantung bagai jantung pisang. Apa sama buku bambu dan jantung pisang?”

Orang tuanya tak sempat menjawab. Sang Hidung Buku segera membalikkan badan, melompat sekuat tenaga, mengibaskan ekor kecewannya. Pergi ia meninggalkan sepasang bekantan yang telah merawatnya sejak kecil.

Sepasang bekantan yang ditinggalkan tak banyak bergerak. Kaki melebar memangku perut. Terdiam. Hanya melempar tatapan harap, semoga anaknya kelak bisa mengerti bagaimana harus berbuat.

                                                            ***

 

Dari pohon ke pohon. Meloncat memeluk dahan. Terus. Menyibak ranting yang menghalang pelarian dari kelompok bekantannya.

Amarah dalam pelarian biasanya akan menuntun ke jalan yang salah. Api emosi dalam dada akan membelokkan jarum kompas kesadaran ke posisi yang menyakitkan.

Si Hidung Buku tergelincir. Tangan tak sigap menangkap, kaki tak sanggup melompat. Sialnya lagi ia terjatuh ke sebuah bibir sungai dan terguling – guling lalu tercebur. Belum hilang rasa kaget dan sakitnya, ia disambut tawa sekawanan lebah yang kebetulan menyaksikan sebuah kecelakaan gila itu.

Berenanglah si bekantan berhidung buku itu. Menepi ia di bibir sungai. Mengibas – ngibaskan bulunya,” woi lebah nakal jangan karena kau bisa terbang seenaknya mengolok aku yang terjatuh!” teriak si bekantan dari atas batu.

Salah satu lebah terbang merendah. Mendekat bekantan yang masih belum kering bulu.

“Jangan marah duhai bekantan yang malang. Kami hanya terhibur sesaat melihat kekonyolanmu tadi,” jawab lebah masih menahan tawa.

“Alah...kalian senangkan melihatku terjatuh tadi. Menertawakan petaka hewan lain itu biadap. Sini kamu mendekat aku makan kamu,” kesal si bekantan. Tangannya berusaha menggapai  lebah yang terbang di depannya.

Sang lebah gesit terbang mengelilingi bekantan. Dengan sedikit kepakan gesit sayapnya. Meliuk – liuk membentuk zig – zag. Dan terus menghindar cepat. Membuat si bekantan pusing berputar – putar hendak menangkapnya. Dalam hitungan tiga tetesan air si bekantan linglung kembali jatuh ke air karena hilang keseimbangan.

“Lebah sialan!  Kau sengaja mempermainkan aku hah?!  Sini kau. Kucabik dengan taringku ini.”

Si lebah kembali tertawa dengan sekawanannya. Melihat si bekantan yang sekarang berusaha menaiki batu karena kedua kalinya jatuh ke sungai lagi.

“Sini kau, dasar kotoran belang,” maki bekantan.

Mendengar dikatai kotoran belang si lebah naik pitam. Tanpa komando ia melakukan tindakan yang tak akan di sadari musuh – musuh seperti biasanya. Menghujam bagai roket ia menyuntikkan senjata andalannya di ekor sang bekantan.

Terkaok – kaok si Hidung Buku menahan suntikan maut dari si lebah. Seketika dalam hitungan lima tetesan air ekor si bekantan mengembang akibat racun serangga terbang itu.

“Hahaha....rasakan sekarang bekantan tak berhidung. Kau olok aku lagi dengan sebutan kotoran belang, maka ekormu akan mengembang seperti belalai gajah. Kau lihat teman – temanku siap menghujani kau dengan jarum – jarum beracun kami,” ancam sang lebah merasa menang.

Terdiam sesaat sang bekantan. Merasakan ekornya yang mengembang. Pikiran gilanya terlintas. Mengapa tak hidungku yang lebah sengat. Bisa jadi mengembang juga.

“Wahai lebah yang garang. Sekarang aku tak akan mengolok dan mengataimu kotoran belang. Tapi bolehkah aku meminta tolong?” tanya di bekantan memelas.

Si lebah yang telah merasa di atas angin masih waspada. Takut kalau si bekantan punya siasat lain.”Apa maumu bekantan. Jangan harap aku akan mendekat agar kau busa menepuk aku sekali tangkap.”

Kembali si bekantan melihat ujung ekornya yang mengembang. Lalu menoleh dan menengadah tatapannya ke arah sang lebah,” Bolehkah kau sengat hidungku yang rata bagai buku bambu ini. Agar hidungku bisa besar, sama seperti bekantan lainnya. Tolong wahai lebah, aku malu kepada sekawanan bekantan lainnya yang berhidung besar. Dan kau mau melihat aku merana lagi, pergi tanpa arah dan terjatuh dari dahan tercebur ke sungai?”

Si lebah iba. Kasian melihat seekor bekantan yang berbulu lembab di hadapannya. Belum lagi hidung aneh itu. Tak menunjukkan kalau yang berdiri di depannya saat ini adalah seekor bekantan.

Ia mendekat melemahkan kepakan kedua sayapnya. Sekali toleh teman – teman lebahnya menghampiri. Membentuk sebuah formasi yang membuat takjub bekantan di depannya. Karena dengan berkelompok seperti itu ia merasa aman berbicara dekat dengan si bekantan.

“Apa yang bisa kami bantu. Kami kecil tak bisa membantu dirimu yang besar,” tanya sang lebah lagi.

“Jangan melihat rupamu ketika hendak menolong. Kau kecil tapi usahamu besar. Bantulah aku lebah. Kalau kau bisa sengat hidungku agar bisa membesar.” Pinta bekantan lagi.

Kembali sekawanan lebah membentuk formasi. Sekarang mereka sedang melakukan musyawarah dadakan. “Boleh saja bekantan, tapi bukankah kau akan merasakan sakit nantinya?” tanya lebah tak tega.

“Sakit?  Selama ini aku merasakan sakit itu lebah. Sakit diejek, dimusuhi, bekantan lainnya. Dan sekarang keinginanku punya hidung besar akan tercapai. Jadi sakit saat melakukan hal yang kita sukai, tak akan berarti sakit itu lebah. Sakit itu akan membawa kesenangan.” Jawab bekantan yakin.

Lebah saling tatap satu sama lain.”Baiklah sekarang kau pejamkan matamu, aku akan sengat hidung kecilmu itu.”

Tusukan kali ini terasa berat untuk sang lebah. Tak seperti tusukan pertamanya tadi. Sekarang dia akan menyakiti hewan lain yang dengan suka rela disakiti.

Perlahan mengepak sayap. Berbalik tubuh mengarah jarum senjatanya. Perlahan hinggap  tepat di ujung hidung sang bekantan. Sekarang mata – setentang mata mereka berdua. Berkedip mata sang bekantan seakan berkata sudah siap dan rela. Si lebah mengangguk saja. Dan seketika tusukan masuk dengan diiringi keluarnya air mata.

Terkaok – kaok sang Hidung Buku merasakan kesakitan. Lebah menghindar takut tak sengaja bekantan mengatup mulutnya ketika ia masih melayang di muka. Menggelepar bekantan di atas batu sungai. Tak tahan menahan sengatan ia pun pingsan.

                                                            ***

 

Menari dengan seksama. Bergetar ujung ekor. Melompat ke ujung dahan. Bergelayut di jalur akar. Sang Hidung Buku kini asyik menari.  Menunjukkan koreografi alam yang langka. Bergelayut  di tali akar. Berayun – ayun seperti terbang. Berusaha menarik perhatian bekantan betina lainnya. Sekarang musim kawin telah tiba. Ia lebih percaya diri dengan hidung barunya./DG

 

 

Posting Komentar untuk "Cerpen # Hidung Si Bekantan"