Cerpen # Kayu Bakar Ibu

 







 Kayu Bakar Ibu

Oleh : Dodi Goyon

           

Baiklah akan kuceritakan kisah tentang kayu bakar. Setiap hari libur pergi mencari ke hutan. Kemudian  mendapat sindiran  sinis dari Wak Mat tukang las berbaju longgar itu.

            Menggerutu juga aku. Di zaman yang serba canggih ini masih mencari kayu bakar. Mencela burung pipit melihatku menebang pohon karet yang banyak dahannya yang  siap mati karena tak disadap lagi. Nyamuk – nyamuk  bergantian  membisik dengan gosip baru yang dibawanya. Kumbang hitam mungil itu juga protes, sarang  yang belum diselesaikannya ikut hancur saat aku tebang pohon karet untuk kayu bakar.

            Merintih ulat kayu ketika mata gergaji mencabik kulitnya. Kubelah saja tanpa permisi. Satu dua semut hitam menatap garang. Binatang – binatang itu marah dengan caranya masing - masing.

            Bukankah sekarang ada kompor gas. Tinggal berlari ke toko akan kudapati juga. Tak perlu pergi ke hutan.

            “Amak mada butuh  nak, apinya ajom  angat. Kalau gas itu panas. Amak mada suka panas, kayu bakar bagus.’’

            Entahlah apa yang Amak pikirkan. Mengapa beliau tak mau pakai kompor gas. Memasak menggunakan kayu bakar itu tak gampang. Asap mengepul dan apinya suka mati bila kayu kurang kering. Tapi Amak tetap keras, hanya mau memasak dengan kayu bakar.    

                                                                        ***

            “Mana kerjaan kau jang, belilah Amak kau tu kompor gas. Saban minggu kulihat kau ambil kayu bakar. Mau kembali ke zaman batu apa kau jang?’’ Ucap Wak Mat.

            Wak Mat. Tukang las yang selalu berbaju longgar itu. Sangat longgar, selonggar mulutnya yang selalu usil dengan keadaan orang lain.

            “Amak tak mau Wak,’’ jawabku singkat.

            “Bukan Amak tak mau, kau yang kedekut tak mau belikan kompor gas untuk Amak kau. Kau rela kulang – kalik membawa kayu bakar dan tak mau keluar uang sepeserpun,’’ lanjut Wak Mat mulai sok tahu.

            “Wak, aku anak Wak atau anak Amak aku?  yang bawa kayu aku, yang belah aku. Apahal Wak yang sibuk.’’

            “Jangan marah jang, Wak kan nak beri saran jak.’’

            “Saran?  aku ikut saran Amak aku.  Bukan Wak.’’

            Bagaimana tidak dongkol bertemu dengan manusia seperti Wak Mat. Lelaki tapi mulut lebih – lebih wanita. Amak saja tak pernah bilang aku kedekut.

            Cemoohan  orang memang tak bisa dihindari. Tak bisa ditebak. Tak mengapa, sabar saja.  Memang ada betulnya juga saran Wak Mat. Aku sudah ada kerjaan. Cukuplah untuk beli kompor gas, tapi bukan aku yang kedekut seperti sangkaannya,  bermulut longgar itu. Amak tak mau. Beliau lebih suka aku ke hutan, membelah kayu dan memanggulnya membawa ke rumah. Lebih hangat kata Amak, tak seperti kompor gas yang panas.

            Menggunakan perapian di dapur bukanlah perkara gampang. Aku perhatikan Amak kalau di dapur. Berpeluh, kadang kalau kayu belum sempurna kering akan banyak asap yang mengepul dalam rumah. Amak  mengerjap – ngerjapkan matanya karena perih oleh asap. Kasian aku, bukannya aku tak peduli. Namun begitulah Amak.

            Akan  kubeli kompor gas untuk Amak. Berharap agar memudahkan pekerjaannya  di dapur. Tak perlu juga aku mencari kayu bakar lagi. Bisa juga aku menjawab sangkaan Wak Mat selama ini.

 

                                                            ***

 

           

Amak belum pulang dari kebun.

            Sekarang hari minggu, jadwal mencari kayu bakar. Seperti biasanya, Amak akan menungguku di kebun. Tapi aku akan ke pasar hari ini. Mencari kayu bakar yang lain.

            Aku membayangkan apakah nanti Amak senang.  Melihat kompor gas tergeletak di samping perapian. Tak peduli tungku akan protes, iri atau kecewa nantinya. Aku hanya ingin Amak senang. Itu saja.

                                                            ***

            “Nak, kenapa kau tak ke kebun, kau sakit?’’

            “Aku ke pasar Mak, nyari kayu bakar.’’

            “Ke pasar nyari kayu bakar?’’

            Tak kujawab, aku bawa Amak ke dapur. Semoga beliau senang melihat kompor gas.

            “Aku belikan Amak kompor gas, tak perlu aku ke kebun tebang pohon karet lagi. Amak suka?’’

            Amak menatapku tajam. Tak pernah aku melihat tatapan beliau seperti ini sebelumnya. Lalu dengan tenangnya dia berujar.

            “Amak kan sudah bilang kalau tak mau dari dulu.’’

            “Tapi Mak, kalau dengan ini mudah Amak memasak. Tinggal klik hidup. Tak ada asap juga Mak.  Sayang  juga kalau tak dipakai kelak. Percuma aku menabung beberapa bulan ini untuk membeli kompor gas, kalau kenyataannya Amak tak mau.’’

            “Sudahlah nak, Amak istirahat dulu. Barang itu kau simpan aja dulu di kamar kau, jangan dekat tungku. Amak tak suka.’’

            Aku terduduk lemas. Usaha yang tak sesuai harapan.  Aneh Amakku ini. Sebagai anaknya tak tahu mengapa Amak sampai tak mau. Seandainya Wak Mat tahu, dia juga akan heran,  mungkin lebih longgar herannya dariku.

            Apakah penilaian Amak aku ini salah. Tak patuh mungkin. Atau karena tadi tidak datang mengambil kayu bakar di kebun?   Bingung aku.  Salahkah anak yang berusaha ingin sekali membahagiakan orang tuanya. Marahkah tungku bila aku menggantikan posisinya dengan kompor gas yang lebih praktis. Malah langit – langit dapur saja seakan mendukungku, tak tahan harus setiap saat bersua dengan asap. Lihatlah sekarang hitam bagai mendung di dalam rumah.

Hitam dan gelap perasaanku sekarang. Masih bingung karena  Amak. Ingin dikembalikan kompor gas itu tak mungkin lagi. Belum lagi kalau sampai Wak Mat tahu aku mengembalikannya, habis aku di semprot mulut lasnya itu. Tak apalah simpan saja. Siapa tahu Amak nanti mau.

                                                            ***

 

Minggu ini aku masih bergelut dengan kayu bakar. Menebangnya, memotong terus membelah. Tapi tak semangat aku kali ini. Burung pipit tak berkicau lagi, gosip – gosip nyamuk kurang hangat di telingaku. Kumbang hitam yang mungil itupun entah kemana membuat sarangnya. Tatapan semut hitam juga biasa saja, hanya sesekali bersalaman dengan teman sejawatnya. Hanya ulat kayu yang selalu teriak keras memaki mata gergaji.

 Gesekan demi gesekan gergaji bergerak. Hentakan kapak semakin lemah. Tak banyak tumpukan belahan kayu yang  kuhasilkan. Aku masih kecewa.

Amak sepertinya tahu keadaanku. Kulihat sekilas Amak tak fokus mengasah pisau sadap di tangannya. Sekali gesek batu pengasah, sejurus juga matanya melirikku. Bilas air asah lagi, melirikku lagi.

Selesai kayu bakarku. Kuhampiri Amak di pondok kebun.

“Kamu sakit nak, kok lesu?’’

“Ndak Mak, hanya malas.’’

Sepertinya Amak  tahu  perasaanku, dan itu juga harapanku. Berharap beliau mau menceritakan mengapa ia tak mau aku membeli kompor gas.

“Malas, kenapa?’’ tanya Amak lagi.

Aku belum berani, tak enak kalau Amak menatapku seperti tatapan dulu sewaktu tahu aku membeli kompor gas untuknya.

“Malas terus – terusan nyari kayu bakar Mak.’’

Aku mulai berani membuka pintu persoalan.  Amak menatapku,  sorot matanya sama seperti ketika ia menolak kompor gas.  Perlahan Amak tersenyum, membuat matanya yang tadi sempat menakutkanku menjadi mata yang penuh cinta kasih. Meneduhkan.

            Dengan lembut Amak memegang kedua tanganku. Diraihnya kemudian diarahkannya  ke wajah tuanya.

            “Tangan kamu kasar nak?’’

            Aku hanya megangguk tak paham.

            Wajah Amak mendekat ke arah badanku. Hidungnya lekat mencium aroma tubuh yang keringatan. Pelan tangannya mengelap sisa – sisa keringat di keningku. Aku semakin dibuat tak paham maksud Amak. Tapi aku tak berani bertanya.

            “Nak engkau tahu kenapa Amak tak mau kompor gas, dan terus menyuruhmu mencari kayu bakar?’’

            Kali ini aku menggeleng. Mataku masih bersitatap dengan mata teduh Amak.

            “Amak mau tangan dan keringat kau  untuk Amak.’’

            Aku masih terdiam. Belum paham maksud Amak. Kali ini tatapanku mulai samar, ada genangan basah di sana. Tak kuasa melihat tatapan Amak yang  mulai berkaca – kaca.

“Nak kalau kau ambil kayu bakar, keringat kau untuk Amak.’’

“Tapi Mak, aku beli kompor gas juga dengan keringat kerja, dan dapat gaji. Bukan aku mencuri Mak.’’

Amak tersenyum. Disekanya air mataku yang mengalir di pipi. Tanpa peduli air matanya perlahan mulai menetes.

“Amak paham nak, kau kerja bukan mencuri. Niatmu baik. Tapi, uangmu itu hasil bekerja dengan orang lain. Artinya keringatmu belum murni untuk Amak di sana. Amak tak mau berbagi keringat, peluhmu terpakai orang lain saat kau bekerja untuk mereka. Amak juga ingin mendidikmu betapa nilai baktimu lebih Amak sukai daripada uang dan kompor gasmu itu.’’

Aku peluk Amak dengan erat. Air mata tak henti mengalir.  Sekarang aku tahu. Kalau aku membeli kompor gas sama artinya keringatku tidak murni kuabdikan untuk Amak. Karena uang gajiku berasal dari keringat yang juga dimanfaatkan tempatku bekerja. Amak ingin baktiku tak setengah – setengah.

Kesederhanaan tak  menuntut harus mudah. Di dalamnya juga terdapat pengorbanan yang sejati. Membeli kompor gas boleh jadi memudahkan Amak memasak, namun tak ada kerelaan di sana. Sedangkan berpeluh basah membelah kayu bakar lebih berarti bagi Amak. Karena lebih mengikat nilai di dalamnya.

Sekarang aku paham. Amak tak suka kompor gas yang panas melelehkan cinta. Tapi kehangatan kayu bakar lebih mempererat kasih sayang./DG

 

 

           


Posting Komentar untuk "Cerpen # Kayu Bakar Ibu"