Sekarang memang lagi musim buah. Musim langsat, musim
durian, musim rambutan. Banjir istilah orang sekarang. Entah mengapa bisa
kompak berbuah. Jangan – jangan mereka melakukan persekongkolan dengan para
tengkulak buah.
Durian di kebun Mayap Goyonpun ikut berbuah. “Cepat gak
kau nie bebuah. Rasa – rasa baru gak kau nie berangkat bujang.” Dielus –
elusnya pohon durian itu. Masalah bagaimana mengenal durian yang berangkat
bujang dengan durian yang udah dewasa hanya Mayap yang tahu. Langsat tak mau
kalah, dari pangkal sampai ujung dahan berhiaskan buah. Seakan saling berebut
posisi untuk muncul membentuk kelompok
tangkai. Sampai harus ada yang muncul sendiri tanpa kelompok tangkai. “Kau
nie nak cari muka. Tak mau bekongsi dengan kawan. Dimakan tupai baru tahu!” Omel Mayap seakan buah yang menyendiri tadi
tahu apa yang ia katakan.
Itulah enaknya jadi orang kampung. Mau durian ada, ingin
langsat tinggal petik. Tapi bagi yang ada menanam, kalau tak ada sama juga,
gigit jari, nelan ludah. Syukurlah Mayap sudah berinvestasi dari sejak remaja. Dan investasi Mayap bukan
properti dan tanah, namun investasi tanaman buah. Karena Mayap sudah mengenal
ilmu mengenai investasi dari hutan, ya hutan, bukan dari para ekonom. Mayap
hanya kasian dengan para tupai yang selalu kewalahan mencari makan saat tak
musim buah. Tupai sampai harus memakan buah karet, tak peduli kemudian harus
sempoyongan melompat tak tentu dahan tak tentu ranting karena mabuk. Burung
kuncit juga, sampai harus terpaksa menghisap air di daun keladi dikiranya
cairan nektar. Tak peduli dengan apa yang akan dikatakan keladi bahwa ia
makhluk yang tidak tetap pendirian, ya, bagaikan air di daun talas.he. Itulah
ilmu yang dipelajari Mayap. Seandainya pikir Mayap, para tupai itu bisa
berinvestasi menanam sendiri segala jenis buah tentu tak menunggu hanya satu
jenis musim.
Ah namanya juga hewan. Tapi yang pastinya Mayap akan
menjual hasil kebunnya itu. Besok akan diajaknya Badol untuk memanen langsat
dan menyampah durian.
***
“Masam Mayap. Ini langsat apa sih. Bibit unggul atau
bibit tunggul?”
Mengerut wajah Badol yang sedang bertarzan ria di dahan langsat.
“Masam? Kau salah
petik Dol, jangan petik yang tak bekongsi tu. Itu buah memang lagi merajuk
makanya tak mau betangkai besama. Petik yang lebat tangkainya. Pasti manis Dol.”
Teriak Mayap sambil mendongak.
Nampaknya Badol tak banyak cincong masalah langsat yang
merajuk. Dibabatnya saja tangkai – tangkai yang sesampai lengannya. Sebenarnya
Badol sudah tak tahan dengan semut – semut hitam yang marah karena sarang yang
menempel di tangkai terkena kibasan tangannya. Rambutnya sih aman karena
dililit sarung. Tapi ada semut yang
nekat menyelinap masuk ke daerah paling pribadi si Badol.
“Wadauuu...Mayap! Akai!” teriak Badol di atas sana.
“Apahal kau Dol. Dah macam lutung kena sunat jak,” gerutu Mayap sambil memungut buah langsat
yang berserakan.
“Lebih dari kena sunat Mayap,” ringis Badol masam.
Akhirnya tak tahan Badol turun juga. Sambil meringis ia membantu Mayap memungut buah.
“Benar Dol. Masam!” kata Mayap kemudian.
“Kan Mayap. Langsat Mayap nie banyak dikencing semut.
Makanya masam.” Jawab Badol tak kalah sambil mengipas badannya dengan sarung.
Mayap mulai ragu ingin menjual langsatnya. Tak tega
hatinya kalau harus menjual langsat yang masam seperti ini.
“Laku ndak nie Dol? Dijual aku Malu tak dijual aku pilu,”
ragu Mayap.
“Tenang Mayap titip ke Toke Ali pasti laku. Apa benda
dititip di toko dia tu pasti habes. Orang nitip kerupok laku, nitip bakwan
laku, nitip pisang laku, nitip bini jak tak berani Mayap.” Seloroh Badol nakal.
Mayap tak menghirau lelucon Badol. Ditatapnya lagi dua
karung langsat di depannya. Masih ada keraguan yang menyelinap hati Mayap.
Hingga akhirnya ia putuskan, “ betul juga Dol. Baik aku titip ke Ali. Siapa
tahu habes.”
Badol menunjukkan dua jempol tangannya.
Baca juga yang lucu lainnya : Hakim sehari
***
“Tenang Mayap. Pasti laku. Titip jak, aku jual. Dua hari
lagi datang ke sini di jamin abes,” kata Toke Ali yang hanya berbaju singlet.
“Dua hari aku sini lagi,” jawab Mayap puas.
Senyum simpul Toke Ali sampai tak nampak bola matanya.
Senang ia karena Mayap menitipkan langsat di tokonya. Ketika jauh langkah Mayap
berpulang ia cicipi buah langsat tadi. Sungguh menawan muka Toke Ali sekarang,
waktu senyum saja ia tak nampak bola matanya, sekarang bahkan hilang habis
garis matanya menahan rasa dari buah langsat titipan Mayap. Lalu dengan muka
yang menawan, lebih tepatnya menahan, ya menahan masam. Toke Ali mengambil
sobekkan kardus dan menulis jimat penglaris untuk buah titipan Mayap.
“LANGSAT MADU
MURAH, TAK PERLU DICOBA BAWA PULANG ANDA AKAN TERLENA”
***
Sudah dua hari sejak penitipan langsat di toko Toke Ali.
Mayap tak sabar ingin menerima hasilnya. Lumayan untuk uang jajan pikir Mayap.
Walaupun ia sudah tua namun jajan tetap jalan, baginya jajan tak mengharuskan
pelakunya harus bersekolah untuk menerima uang jajan.
Cepat langkahnya berjalan menuju toko Toke Ali. Tumit
kakinya berirama dengan ujung belakang sendal jepitnya.
Ktepak..ktepek..ktepak..ktepek, nyaring sekali. Debu jalanpun bersorak
menyertai langkah kakinya. Sampai akhirnya kaki Mayap harus mengerem mendadak
karena dari belakang terdengar panggilan. Sangat dikenal suara itu olehnya.
“Lajunya Mayap, nak kemana?” sapa Cu Eman
“Aih kau Man, aku nie nak cepat – cepat tau. Ada bisnis.”
Sahut Mayap
“Dah ngomong bisnis sekarang Mayap.” Ledek Cu Eman nakal.
“Iyalah Man. Hidup itu harus pandai bebisnis, jangan
kalah dari anak SD.” Lanjut Mayap sambil berjalan dan diikuti Cu Eman.
“Anak SD bebisnis. Bisnis apa Mayap?” penasaran Cu Eman.
“Eh Man, coba kau suruh anak SD tu belanja pasti dia
minta upah dulu baru mau disuruh. Jadi sejak kecil mereka itu sudah belajar
bisnis Man.” Jelas Mayap seenaknya.
Cu Eman mengangguk
bingung.
“Eh Mayap, dua hari lalu aku beli langsat di toko Toke
Ali. Asli Mayap...”
“Aaa..cam mana rasanya Man. Manis, gurih, lembut?” tanya
Mayap bergairah.
“Laku Mayap. Aku jak dapat setengah kilo jak. Tapi, pas
sampai di rumah tak habes langsat tu aku makan, sukur aku masih ngutang,” Lanjut
Cu Eman.
“Aih, ngapa Man. Kan sayang tak habes.”
“Kecewa aku Mayap. Langsat toke Ali tu masam. Macam cuka
ketiak,” curhat Cu Eman. Tanpa basa basi ia katai rasa buah langsat yang
sebenarnya milik Mayap itu.
“Masam? Ngapa kau
beli Man. Jadi pembeli itu harus teliti, rasa dulu baru timbang. Jangan macam
beli tupai dalam karung.” Nasehat Mayap.
Cu Eman baru saja ingin menjelaskan. Tak terasa mereka
sudah sampai di toko Toke Ali. Terlihat oleh keduanya sang Toke tengah asyik
menakar gula dalam pelastik satu kilo. Dengan celana pendek dan baju
singletnya.
“Timbang – timbang gula. Timang – timang cinta. Jangan
engkau mendua cinta. Nanti engkau menggila,” mantap Mayap berdangdut ria
sebagai salam hangatnya dengan rekan bisnisnya
Toke Ali.
Sang Toke kaget. Terpesona ia mendengar nyanyian khas
Mayap, hampir saja ia menghambur – hamburkan kristal gula untuk menambah
semarak nyanyian Mayap agar lebih mirip pesta warna di pelam pelam India. Namun tak jadi karena ingat harga gula sedang
melambung. Jadilah Toke hanya tepuk – tepuk dahi, eh tepuk tangan.
“Aaa, Mayap,
langsat habes. Langsat laku. Karung ludes tinggal kutu.” Kata Toke selesai
nyanyian Mayap.
“Wah mantap Ali. Lihai kau jual.”
“Jadi, langsat tu titipan Mayap?” kaget Cu Eman.
“Eh, memanglah punya aku Man.” Jawab Mayap heran.
Cu Eman mati kutu karena ingat sewaktu di jalan mengatai
langsat masam macam cuka ketiak.
“Kau memang hebat Ali. Bagaimana cara kau jual langsat
masam tu sampai habes?” selidik Mayap.
“Nie Mayap ada jimat penglaris,” kata Toke sambil memberi
sobekan kardus yang telah dituliskan.
Mayap kaget ketika membaca tulisan di sobekan kardus itu.
Pantas si Eman tak bisa mencicipi langsat sebelum membeli. Bukan hanya si Eman
berarti semua pembeli tak bisa merasakan langsat sebelum di timbang. Diam -
diam Toke telah menipu para pembeli.
Kesal Mayap, tak tega ia dan tak ikhlas dengan cara Toke berjualan.
“Ali, mulai sekarang aku tak mau bebisnis dengan kau
lagi.” kata Mayap kesal.
“Ngapa Mayap, kan laku?” heran Toke Ali.
“Aku jual langsat, ngapa kau jual kucing. Udah tu
kucingnya kau masuk dalam karung lagi. Bagaimana orang tau warna bulu kucing
tu,” sindir Mayap.
Toke Ali bermuka masam, lebih masam dari rasa langsat. Ia
minta maaf kepada Mayap dan Cu Eman. Tapi, Cu Eman dengan enteng berkata, “aku
maafkan Toke, asal hutang langsatnya jadi lunas ya?”
Mayap dan Toke melotot mantap.
Baca Bukunya Lebih Ngakak : Klik Di Sini
Menyampah
: kegiatan memanen buah
Komentar
Posting Komentar