Cerpen Komedi, Besar Mulut Besar Perut
Pagi – pagi, bangun tidur memang enaknya ngopi. Rutinitas
para babe atau orang – orang besar katanya. Lihat saja di warung kopi di pasar,
rata – rata orang besar yang menyeruput kopi di sana. Ada yang memang besar
tubuhnya, minum kopi dengan tambahan delapan kue lupis. Besar dompetnya pun
ada, berkunjung ke warung kopi dengan para kolega traktirannya. Tak masalah
baginya karena membayar lima cangkir tak akan menggerus banyak isi dompet. Ada
juga besar jabatannya. Duduk di warung kopi dengan posisi tegap berwibawa. Tak
banyak cakap ada yang memesan. Selesai ngopi ada yang membayar.
Mereka itu semua orang besar. Tapi apalah dengan Mayap Goyon.
Dia bukan besar badan, besar keuangan, apalagi besar jabatan. Orang biasa saja.
Hari ini memang ia harus mengunjungi pasar. Sudah menjadi jadwalnya setiap Jumat
mencuci baju, ehh mencuci mata sekedar mengetahui informasi terbaru. Niatnya
tadi sih ingin membeli sikat gigi. Sikat giginya di rumah sudah pada gundul
diterjang erosi. Tinggal beberapa helai saja bulu – bulu sikat yang masih
bertahan, yang lainnya rontok
meninggalkan gagang sikat, tak tahan bau mulut Mayap yang beraroma khas kesturi
alam kuman.
Mampirlah Mayap ke warung
kopi milik Akiong di pasar Senggol. Sudah ramai manusia yang tak sabar
diseduhkan kopi. Sebenarnya malu juga Mayap hendak bercokol sendiri. Maklum
diliatnya semua para babe yang duduk.
Akhirnya dipilih kursi di teras samping, ia duduk bersama para supir truk.
“Jang, pancong satu, gula pisah, sendok pisah,” pesan
Mayap.
“Gula pisah, sendok pisah, ngapa ndak disatukan jak,”
tanya pelayan manas.
Dengan santai Mayap mencomot kue lempar yang masih angat tai ayam, kemudian diredamnya perasaan
pelayan yang terlanjur dongkol, “eh, harus dipisahlah jang. Tak tega juga aku
liat kau pancong kopi aku tu di depan mereka. Kalau gula dan sendok tak ngamuk,
tak jadi masalah. Cam mana kalau mereka bedua tu berontak depan kau yang lagi
mancongkan kopi aku, hah?”
Pelayan tak menyahut. Manas tak belawan. Makin cepat saja
ia menuangkan kopi pancong pesanan Mayap. Pikirnya sudah pancong, banyak cincong
lagi.
Di depan Mayap dua orang supir truk asyik ngobrol centik.
Maksudnya ngobrol centik; cerita politik.hehe
“Ya ampun bro, jalan ke hulu sana tu jeleknya minta
ampun. Takut gak saye nih bawa muatan banyak tu. Amblas, habes kite di jalan.”
Dari logat bicaranya Mayap tahu kalau tu orang dari Pontianak.
“Akupun sawan wak, bawa tengki tu. Tebalek, meledak. Mane
belom bebini, tak mau aku mati konyol tengah jalan hancor lebor macam tu,” kali
ini supir mobil tangki bicara.
Mayap masih asyik dengan diamnya. Kopi pancong di meja
sekarang dah mulai surut. Nampaknya pelayan tadi benar – benar mancongkan
kopinya.
“Itulah pemerintah sekarang bro, waktu kampanye asyik
janji ini itu. Sekarang lihatlah. Jalan belobang dah macam lubang jala,” lanjut
si supir truk memulai lagi ocehannya.
“Betul tu wak, jadi ape kerje pemerintah sekang nie.
Apalagi dewan tu wak, aih...ngerusing aku. Cobelah buat program yang benar –
benar memihak rakyat. Jalan tu di bangon,” lanjut supir tangki.
“Kalau aku jadi gubernur bro, jalan nie aku buat mulos.
Aspalnya tebal, tak dua tiga bulan dah hancor. Jalan – jalan kampong aku
lebarkan, kalau bisa ada lampu merahnya juga bro, ada jembatan penyeberangan,
kasian gak babi segala anjing kampong tu nak nyebrang jalan tadak berator.”
Luar biasa pikir Mayap. Hebat juga manusia di depannya
itu. Mau buatkan lampu merah sepesial buat hewan. Pemerintah ngaspalkan jalan saja
penuh perhitungan. Hitung tenderlah, hitung pendapatan daerahlah, hitung
pajaklah. Belum lagi hitung pencitraanya. Eh, supir –supir ini malah penuh gaya ingin membuat penyeberangan hewan segala tanpa perencanaan.
Belum tentu segala babi dan anjing itu tau cara pakainya. Jangankan ngeliat
rambu lalu lintas, dengar klakson saja mereka dah bedesut
lari. Jadi jelas ngampor itu
orang. Biasalah omongan orang belum menjabat.
Malas juga Mayap
belama – lama mendengarkan omongan dua supir di depannya. Ia lantas bangun
dari kursi hendak membayar kopi pancongnya tadi.
Ternyata di warung kopi ini, selain orang besar badan,
uang, dan jabatan. Ada juga yang besar omong. Mayap menuju pelayan.
“Jang, berapa kopi aku?” kata Mayap.
“Kopi pancong tadi kan? Gratis jak,” sahut pelayan
tersenyum.
“Aih, ngapa pulak gratis jang.”
“Udah dibayar sama Om yang badan besar di depan tadi.
Katanya sedekah hari Jumat buat orang tua,” tambah pelayan.
Mayap masih bingung. Ditutupnya lagi dompet kulit ularnya
yang terlanjur keluar dari saku celana.
“Besok – besok kalau dia ada lagi, bilang terimakasih
dari aku Jang,” pesan Mayap.
Pelayan hanya diam. Asyik memasukan susu ke gelas kopi.
Masih ada juga orang yang berbaik dengan aku pikir Mayap.
Tak semuanya orang besar itu jelek.
Mayap langsung ke toko kelontong milik toke Atek. Tak
jauh dari warung kopi Akiong. Menyusuri teras – teras ruko toko Cina. Ramai
sekali hari Jumat ini berdesakan dengan orang yang hilir mudik berbelanja.
Sampailah Mayap di toko toke Atek. Dilihatnya sang toke
hanya mengenakan kaos kutang putih dengan bercelana pendek warna gelap.
Tangannya terlihat sibuk memainkan sempoa berirama, klotak.. klatok...klotak..klatok di meja tokonya.
Ada juga Cu Eman tetangganya di Sungai Liku, nampak asyik
memilah – milah ikan asin di dalam keranjang.
“Dipilih – dipilih, ikan asin murah meriah. Tanpa tulang,
lembut di mulut, kenyang di perut,” Mayap teriak bermaksud mengagetkan Cu Eman.
“Murah. Murah apanya Mayap. Ini ikan lais sepuluh ribu
satu ons. Nah yang macam nie,” Cu Eman menunjukkan ikan asin yang sudah menjadi
mumi entah berapa bulan itu.
“Aih, ngapa kau beli macam tu Man, sakit gigi,” timpal
Mayap.
“Itulah Mayap. Udah tak bagus. Mahal lagi. Apa – apa
mahal, gula, kopi, beras, sampai ikan asinpun mahal. Apalah kerja pemerintah
kita nih Mayap?” cerocos Cu Eman.
Mayap tak langsung menimpali. Dipilihnya sikat gigi yang
bergelantung di toko toke Atek.
“Tek....nie berapa harga?” tanya Mayap.
Toke Atek tak menyahut. Ia fokus pada sempoanya. Menghitung rugi laba keuangan
tokonya.
“Woi..., toke. Sikat gigi nie berapa?” Mayap teriak.
“Delapan ribu,” jawab toke tanpa memalingkan matanya dari
sempoa.
Alamak mahalnya pikir Mayap. Dibukanya dompet. Takut
kalau uangnya tidak cukup untuk naik ojek ke Sungai Liku. Masih tersisa 25.000.
“Ooo...iya, tadi kopi aku kan gratis.” Gumam Mayap
Tapi tetap ditawarnya lagi sikat gigi.
“Mahal Tek. Lima ribu jak ya?”
“Mana dapat Mayap, rugi ooo. Untung tipis. Mana dapat
lima ribu. Barang semua naik. Hancur saya punya dagang ooo.” Jawab toke Atek.
“Dagang kau tak akan hancur Tek. Kami pembeli nih yang
hancur, beli ikan asin dah lama macam nie mahal. Hancur Tek,” kali ini Cu Eman
menimpali.
“Apalagi sikat gigi macam nie Tek. Kau jual mahal, hancur
Tek, hancur,” tambah Mayap
“Apanya yang hancur kalau sikat gigi nie Mayap. Gigi
Mayapkan memang dah hancur,” timpal toke Atek
tersenyum geli.
“Kau nie Tek. Janganlah menghina aku,” gusar Mayap.
“Sudahlah. Ini memang salah pemerintah sekarang. Lihatlah
barang mahal, banyak hutang negara lagi.” Lanjut Cu Eman.
“Eh..eh..ehhh..kau nie Man, nyalahkan pemerintah jak kau
nie. Kira kau enak jadi pemerintah?” kesal toke Atek.
“Bukan nak nyalahkan Ke, tapi aku kecewa dengan kinerja
pemerintah kita sekarang. Banyak hutang negara. Cam mana nak bayar?” lanjut Cu Eman.
“Jual gigi jak Man. Nah gigi aku dah nak lepas. Siapa gak
tahu pemerintah mau gadaikan,” seloroh
Mayap Goyon.
“Hahaha...mana ada yang nak beli gigi Mayap tu. Mending
gigi emas. Liatlah, gigi Mayap sekarang dah macam Laut Bunaken,” sahut Cu Eman
ketawa.
Toke Atek Cuma ngulumkan bibir. Tak sampai hati ia
tertawa lepas.
“Aih, ngapa pulak macam Laut Bunaken, Man?” tanya Mayap.
Cu Eman sudah tak mampu menahan tawa, ia terkekeh sebelum
melontarkan kata pamungkasnya itu. Dengan masih menahan tawa ia menjawab, “gigi Mayap tu memanglah macam Laut Bunaken,
banyak terumbu karangnya.”
Kali ini toke Atek tak mampu menahan tawa. Terpingkal –
pingkal ia. Cu Eman apalagi, tak dipedulikannya Mayap yang menggerutu dongkol.
Mukanya merah nahan manas, dah macam udang gala dalam rebusan.
“Kitak bedua nie kalau nak nguraukan orang belebih – lebih. Canda – canda gak. Nah
Tek, berapa tadi lapan ribu. Sekarang aku nak pulang solat Jumat. Yok Man
pulang,” nampaknya Mayap dah kesal dengan candaan Cu Eman yang berlebihan.
“Duluan jak Mayap, aku masih ada urusan dengan Toke,”
potong Cu Eman.
Mayap pulang dengan wajah dongkol. Dengan sikat gigi
barunya ia berharap mulutnya tidak benar – benar menjadi Laut Bunaken yang
penuh batu karang seperti kata Cu Eman tadi.
“Toke. Aku nak ngutang lagi boleh?” kata Cu Eman setelah
hilang punggung Mayap dari pandangannya. Nampaknya ia malu untuk mengatakan
kalau harus berhutang lagi sembako di tokonya Atek.
“Waduh...Man, kau nie tutup hutang buka hutang. Yaa udah
ambillah. Kau mau apa?” tanya Toke dengan mimik kesal.
“Biasa toke, sembilan bahan pokok,” jawab Cu Eman
nyengir.
Toke Atek mengambil buku cacatan bon – bon para
pelanggannya. Tangannya asyik mencatat, begitu juga sesekali jarinya sigap
memisah – misah biji sempoa di mejanya, “ok..ooo,
sekarang udah dicatat, cepat bayar ooo.”
“Makasih toke. Aku pulang dulu ya. Solat Jumat juga.”
Cu Eman berlalu dengan memikul karung belanjaannya. Tanpa
menoleh lagi ia melangkahkan kakinya bagaikan tak meninggalkan beban. Ya, beban
hutang.
“Bilang pemerintah banyak utang, dia sendiri suka ngutang. Haiiyaaa....” Toke Atek menggumam.
Babe : istilah orang kaya/berpangkat
Bedesut
: kabur
Ngampor
: omongan tidak bisa dipercaya
Posting Komentar untuk "Cerpen Komedi, Besar Mulut Besar Perut "