Suhar senang. Tak abis pikir olehnya cara Mayap
meyakinkan warga kampung Sungai Liku perihal sengketa tanah ia dengan Jali.
Tanpa surat menyurat, tanpa saksi – saksi Mayap libas semua pengakuan palsu
dari si Jali. Hanya saja Mayap lebih tahu asal muasal, susun purih atau silsilah kepemilikan tanah tersebut. Memang
seharusnya kita tak boleh melupakan orang – orang tua yang lebih paham mengenai
masa lalu, mereka lebih tahu apa yang terjadi di masa lampau yang kita tidak
senapas dengan mereka saat itu.
Malam tenang. Bulan terang. Kelelawar melayang. Langkah
Suharpun panjang. Ia hendak pergi ke rumah Mayap, niatnya ingin berterima kasih
dan sedikit membawa bingkisan seadanya. Ditengah ayunan kakinya yang panjang
dan melayang, entah mengapa seakan berat menyentuh tanah di langkah berikutnya.
Mata Suhar melotot, otot badannya
melorot, nafas tertahan sekian jenak. Terlihat olehnya benda putih melayang
semakin mendekat.
Kulit kepalanya terasa menebal, menjalar terus ke bawah
seakan bulu – bulunya berlari menuruni belakang lehernya. Tapi fokus matanya
tak lari dari kelabat benda itu. Ayunan kakinya yang tertahan mulai turun,
sedikit goyangan ia hendak berbalik arah. Sedikit dorongan saja ia bisa saja
berlari sekuat tenaga. Tapi tidak, benda putih tadi kini telah bersuara, “bang Suhar, ke mana hei?”
Kali ini Suhar
tertahan lagi tapi tidak dengan perasaan takut. Agaknya panggilan abang
dari suara tadi telah membuatnya berkesimpulan bahwa itu bukan hantu( mana ada
hantu pakai sapaan Abang,hahai). Menoleh Suhar segera dan celaka, benda putih
tadi tepat di belakangnya, “haaaaaaaaaaaaaaaaa,”
Badol teriak pas di depan muka Suhar.
“Podollllllllll,” teriak Suhar.
“Pocong, bukan Podol bang,” protes Badol dengan muka
tanpa bersalah.
“Tapi kamu Podol, Pocong Badol,” jawab Suhar.
Badol dongkol. Dibukanya sarung putih yang membungkus
tubuhnya. Ia suka menutupi badannya pakai
sarung kalau hendak pulang dari masjid, katanya sepanjang jalan banyak
nyamuk. Berkat sarungnya itu ia aman dari gigitan serangga pendonor itu. Tapi
teman – teman tahu tidak mengapa nyamuk lari ketika Badol menutupi tubuhnya
dengan sarung? Sebenarnya nyamuk – nyamuk itu tidak tahan dengan aroma sarung
Badol yang na uju billah baunya itu. Sampai – sampai Baygon saja salam hormat
dengan sarung Badol ini.
Sarung
Badol ini spesial, dicucinya setiap Jumat pertama di hitungan bulan Hijriah. Jadi
kesimpulannya sarung itu dicuci sebulan sekali, itu juga kalau Badol ingat.
Permasalahannya lagi Badol hanya ingat bulan Ramdhan saja di tahun Hijriah yang
lain lupa atau tidak tahu. Kalau boleh berkesimpulan lagi itu sarung dicucinya
setahun sekali. Na uju billah.
“Jadi
abang nie nak ke mana malam – malam gelap tiada berbintang nie. Aaa, tu bawa apa.
Bagilah bang?” lirik Badol ke arah tangan Suhar.
“Kau
nie Dol. Nak tau – tau jak pasal orang. Abang nie nak ke rumah Mayap. Kau nak
ikut?”
Kembali
Badol menutupi tubuhnya dengan sarung baunya.
“Ayoklah bang, jalan.”
Suhar
berjalan, nafas ditahan.
Baca Bukunya Lebih Ngakak: Klik Di Sini
***
Di
rumah, Mayap sedang asyik mendengarkan radio. Berselonjor dengan sarung
setengah tiang. Dada tuanya terbuka lebar tanpa sehelai benangpun. Kakinya bergoyang
ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagu dangdut.
“Di
dalam gubuk bambu, suka dukaku. Di sini ku duduk sambil melamun.”
Seandainya
Megi Z tahu Mayap mengubah lirik lagunya, bisa – bisa Mayap kena pasal penodaan
agama, eh penodaan hak cipta. Tapi bagi Mayap, mendengarkan musik dangdut itu
asyik apalagi ditemani minuman seperti air tebu. Seger.
“Katanya
tebu manis airnya, kucoba tanam di pinggir dapur. Tumbuh memang
tumbuh...sayang...sayang...sayang ..tebu mati dipatok ayam..ooo..ooo...oooo,”
senang sekali Mayap ditemani Megi Z malam ini.
Cicak
tak berani berbunyi kalau Mayap sudah bernyanyi. Ingin rasanya cicak menutup
telinganya, tapi takut terjatuh dari dinding karena tidak pegangan. Jadilah
cicak tersiksa sementara sambil menahan perut yang keroncongan.
Akhirnya
cicak bisa merasakan ketenangan ketika Badol dan Suhar telah tiba di rumah
Mayap dan terkaok – kaok macam ayam mimpi ketemu musang. Radio dimatikan dan
Megi Z tutup album, Mayap bergegas ke luar.
“Dah
selesai nyanyi Mayap?” tanya Badol basa – basi.
“Dah
tamat lagu tu aku bawa, dari Megi A sampai Megi Z. Serak dah suara aku nie Dol,”
jawab Mayap enteng.
“Pas
sekali Mayap aku bawakan air tebu nie, aaa,” tawar Suhar
Tambah
giranglah Mayap kontan ia bernyanyi lagi, “katanya tebu manis airnya, dibawa
oleh Suhar dan Badol...manis...sungguh manis..terimakasih aku
ucapkan..ooo..oooo.”
Suhar
dan Badol geleng kepala. Cicak sakit kepala.
“Aaa...kau
bedua ngapa ke sini?,” tanya Mayap kemudian.
Ketiganya
duduk di teras rumah Mayap, malam ini udara cukup panas sehingga Badol harus
mengibas – ngibaskan sarungnya mencari kesejukan.
“Mayap
aku nie nak ngucapkan terima kasih atas bantuan Mayap karena telah
menyelesaikan perkara aku dengan Jali tempo hari,” jelas Suhar.
“Eh,
sudah jadi tanggung jawab akulah sebagai orang tua yang paham seluk beluk
kampung kita nie. Kaupun harus tetap
jaga tu tanah, jangan sampai diambil orang lain lagi,” jawab Mayap.
“Bicara
tanah Mayap. Kampung kita nie dah banyak manusianya. Kalaupun ada tanah kosong
bukan tanah orang kampung nie.” Timpal Badol.
Pancingan
omongan Badol nampaknya menarik perhatian Mayap. Disilangkannya kedua tangan di
dada. Tatapannya seakan menerawang jauh menembus waktu.
“Betul
Dol. Kau bedua tau Dajjal kan?” tanya Mayap.
Suhar
dan Badol mengangguk heran, mengapa Mayap tiba – tiba bicara Dajjal.
“Kalau
kelak, dan aku rasa pasti mendekati kiamat nanti, kampung kita nie, tanah –
tanah kita nie akan dikuasai yang namanya Dajjal. Dan barang tentu anak
keturunan kita nanti dah tak ada tanah. Nak buat rumah pusing palak. Jadinya
apa?” pancing Mayap lagi.
Suhar
dan Badol masih terlena. Diam lalu saling pandang.
“Akhirnya,
apapun yang disuruh Dajjalpun mau. Mau tanah, buatkan aku kopi kata Dajjal. Nak
rumah, carikan aku air tebu, pinta Dajjal. Apapun yang disuruh si Dajjal mau!”
Lanjut Mayap lagi.
“Kapan
Dajjal tu masok kampung kita Mayap?” tanya Suhar.
“Aaa,
perihal tu kau tanyakan Badol. Aku nak ke dapur lok buatkan kopi tuk kalian
bedua,” jawab Mayap seenaknya.
Badol
manas tak belawan. Tetiba saja Mayap menyerahkan untuk menjawab pertanyaan
menakutkan seperti itu.
“Kau
tanya aku macam tu bang, lebih baik aku ditanya siapa nama presiden pertama
kita bang,” melas Badol tak berdaya.
Sekian
menit berlalu Mayap datang dari dapur membawa kopi dan langsung disemprot Suhar
dengan pertanyaan tadi, “kapan Dajjal
masuk kampung?”
“Kau
bedua nak tahu, kapan Dajjal tu masuk kampung?”
Suhar
dan Badol mengangguk mantap. Sesaat hening menunggu jawaban Mayap, cicak di
dindingpun serius menguping.
“Dengar....kalau
cicak dah berkokok.”
Komentar
Posting Komentar