cerpen Komedi, Delapan Keroket & Tujuh Nagasari
Malam belum larut. Suara jangkrik masih bertalu – talu.
Mungkin sedang kenduri besar di semak – semak belakang rumah Mayap. Ramai
sepertinya yang datang. Kodok dengan suaranya yang besar parau. Jangkrik dengan
melodinya yang menggelitik. Belalang semangat dengan gesekan sayap tipisnya.
Belum lagi dengan suara sayu burung hantu yang monoton itu.
Mayap Goyon masih bersandar di kursi teras rumahnya.
Bertelanjang dada dengan kipas dari sobekan kardus indomie di tangannya. Gerah
dan panas terasa. Angin nampaknya sedang melakukan efisiensi malam ini. Tak
banyak berhembus, atau karena tagihan listrik yang belum dibayar?
Mungkin saja angin lagi berhembus ria di semak – semak
sana. Memilih melakukan proyek pesanan dari kenduri hewan – hewan yang telah
dahulu memboking hembusan. Mayap
masih dengan kipas kardusnya. Menikmati sepoi – sepoi, walau tangan lelah
mengipas.
Sampai lelah tangannya mengipas belum juga datang
perwakilan dari pihak yang berkenduri memberi undangan. Ya, siapa tahu
jangkrik di semak sana butuh penari latar untuk acara kenduri mereka.
Mayap bisa kok jadi penari latar. Latar tempat, jadi
pohon – pohonan yang jongkok membawa dahan dan ranting di atas pentas.he
Tapi Mayap memang orang penting kok. Buktinya belum satu
album yang dibawakan jangkrik dan koleganya sesama hewan, datang si Badol
kemudian ke rumahnya. Si marbot masjid
ini juga kepanjangan tangan pak RT kalau masalah undang mengundang.
“Assalamualaikum Mayap, sungguh bohai Mayap malam nie.
Bertelanjang dada dengan pose yang menggoda. Sayang di depan tak ada air soda,”
salam Badol langsung nyerocos.
“Waalaikumsalam Badol, kau pun tak kalah mempesona,
dengan sarung tanpa celana, dan pasti
muka sungguh merana,” jawab Mayap tak mau kalah.
Badol hanya senyum dongkol. Lalu duduk di samping Mayap.
Tangannya meronggoh sesuatu dari dalam kocek baju longgarnya.
“Undangan Mayap,” sodor Badol singkat.
“Undangan apa Dol?
Wah macam orang penting jak aku nie, dapat undangan,” lanjut Mayap.
Badol mengibas – ngibaskan ujung sarungnya,
keringatan berkeliling membagi undangan.
Syukur malam ini ia memakai celana pendek, jadi aman saat mengibas ujung
sarungnya. Karena kebiasan Badol suka hanya memakai dalaman saja saat
mengenakan sarung.
“Itu surat memang penting, Mayap, tapi bukan untuk orang
penting. Undangan itu untuk semua warga. Jadi semua dapat, bukan hanya
Mayap..huuu,” potong Badol.
“Undangan. Perihal kerja bakti. Untuk warga Sungai Liku.
Ini undangan kerja bakti, Dol.” Lanjut Mayap lagi.
“Tau nanyak,” jawab Badol kesal.
“Berarti aku orang penting, Dol. Kalau aku tak penting
mengapa aku dibutuhkan saat kerja bakti besok?” bela Mayap.
“Udahlah terserah,
Mayap. Aku nak keliling kampung lok,” jawab Badol lantas ngeloyor pergi. Malas
ia berdebat dengan orang tua macam Mayap.
Mayap lanjut mengipas tubuhnya yang kepanasan, tanpa
memedulikan Badol yang pergi dengan muka kesal.
***
Setelah sarapan sedikit. Minum seirit dan ke wc karena
melilit. Mayap menuju lokasi kerja bakti di kampungnya. Pak RT mengajak warga
untuk membersihkan parit yang sudah dangkal tak bisa menampung aliran air
buangan limbah rumah warga.
Kerja bakti memang bagus untuk membangun kekeluargaan di
lingkungan tetangga. Apalagi di kampung seperti ini. Mayap menyadari dirinya
sebagai warga negara Indonesia yang baik dan memiliki kartu tanda penduduk
beralamat di kampung Sungai Liku ini jelas harus ikut dan tunduk untuk
mensukseskan kerja bakti yang tercantum dalam program kerja pak RT. Yaelahh...
:D
“Baiklah wargaku sekalian. Sebelum melakukan kerja bakti
mari kita berdoa terlebih dahulu, agar apa yang kita kerjakan bisa lancar dan
tanpa hambatan” kata pak RT mengawali di depan warga yang sudah berkumpul, tak
lupa dirapikannya rambut keritingnya dengan sisir kecil yang selalu ada di saku
belakang.
“Sebaiknya diawali dengan sarapan pak RT. Doa nanti saja,”
celetuk Cu Eman.
Semua warga menatap Cu Eman. Sisir pak RT sampai
tersangkut di rambut kritingnya, ia kaget dengan muka garang. Terlebih Mayap yang tepat
di belakang langsung menampok kepala
Cu Eman dengan gagang cangkulnya. Memang luar biasa Cu Eman ini, tak menghargai
butir Pancasila, sila pertama. Sarapan tidak termaktup dalam undang – undang
ke-RT-an.
Cu Eman hanya senyum tupai. Tahu kalau idenya cukup
menjengkelkan.
Kerja bakti dimulai. Pak RT membagi area kelompok kerja.
Ada yang menebas rumput – rumput yang terlalu obesitas rumpunnya sehingga
menyumbat aliran air. Sebagian lagi ada yang mencangkul lumpur yang mengendap
di dasar parit.
Mayap dengan semangat 45’ nya mencangkul lumpur. Tak
peduli ia dengan habitat cacing kecil yang mungkin tengah bercengkrama dengan
keluarganya di akhir pekan.
Badol dengan semangat mengikat sarungnya di kepala,
beberapa kali ia harus terpeleset membawa ember berisikan lumpur, membuat
tubuhnya habis tersiram berbagai zat – zat buangan yang sudah menyatu seperti adonan kue. Dia
menghampiri Mayap, “Mayap emangat ya,
parit jatah kita hampir selesai. Lihat di sebelah sana mereka masih bedabol( ngobrol – ngobrol, bahasa
Sungai Liku) saja, apalagi Cu Eman dia paling vokal.”
“Ok Dol. Jatah kita harus cepat bersih,” dukung Mayap.
Seperti tahu saja dirinya dibicarakan, Cu Eman teriak
mengolok Mayap yang sibuk di sebelah, “Udah
Mayap, istirahat dulu. Ngopi ,ngobrol. Ngak digaji kok.”
Mayap terus kerja. Walau toh namanya kerja bakti ia tak
mau asal – asalan dalam bekerja.
Badol datang lagi membawa embernya. “Mayap kalau mau istirahat, minum aja dulu, biar aku yang nyangkul,” pinta Badol.
“Jangan seperti
mereka Dol, walaupun kita tak digaji kerja kita harus tulus. Ini juga demi
kebersihan dan kenyamanan warga kita. Kalau beranggapan ini kerja bakti lalu
sedikit – sedikit ngobrol, ngopi, dan malas karena tak digaji. Di mana jiwa
peduli kita Dol,” lanjut Mayap kesal.
Badol mengangguk setuju. Tapi ia juga nampaknya kehausan.
Bolehlah pikirnya istirahat sebentar ngopi dan makan kue. Toh jatah parit yang
ia bersihkan sudah hampir selesai.
“Ya...ampun, mana kopi nie? Kue...mana kue...?” Badol
kaget melihat nampan yang tadinya berisi hidangan ringan ludes tak bersisa. Hanya air putih kemasan
saja yang tersisa di kardus.
Kesal Badol. Diambilnya dua gelas air putih kemasan, lalu
pergi mengadu pada Mayap.
“Mayap kopi habis. Kue jangan ditanya. Rakus,
Mayap...rakus,” Badol langsung memuntahkan kekesalannya.
“Apa sih
,Dol. Siapa yang rakus?,” tanya Mayap sambil
menyiram mata cangkulnya dengan air, sudah selesai jatah paritnya.
“Mayap sih, tadi di suruh istirahat ngopi malah lanjut
kerja. Liat habis, hanya nie,” Badol menyodor gelas air kemasan.
“Udah, kita ke warung Bi Senah. Siapa tahu masih keroket
dan bakwan di sana.” Ajak Mayap lagi.
Akhirnya Mayap dan Badol istirahat di warung Bi Senah.
Ternyata benar masih ada beberapa kue kroket dan naga sari yang masih tersisa.
Belum lagi Bi Senah nampaknya berbaik hati membuat es kelapa muda gratis.
“Ini es kelapanya gratis Mayap, tapi kuenya bayar ya,” Bi Senah senyum polos.
“Asyik, rezeki anak soleh Mayap. Walaupun kita ndak
kebagian jatah kerja bakti,” Badol tak sabar menyeruput es kelapa.
“Dol kau bawa duit?,” tanya Mayap.
Badol kaget. Jangan – jangan Mayap juga tak bawa duit.
Karena ia merasa tak membawa sepeserpun duit.
“Jangan sampai Mayap bilang tak bawa ya,” bisik Badol lagi.
“Tepat sekali Dol, aku memang tak bawa,” balas Mayap
berbisik.
Bi Senah melirik kelakuan mereka yang asyik berbisik.
“Sekarang kau duluan pulang Dol, biar ini jadi urusan
Mayap,” pinta Mayap memantapkan rencanannya.
“Yang bayar siapa?” tanya Badol cemas.
“Udah....pulang saja!”
Badol lantas pergi setelah dipaksa Mayap. Sebenarnya ia
masih ragu dengan rencana apa yang akan dilakukan Mayap. Perlahan
diperhatikannya dari jauh. Nampak Mayap bercakap – cakap dengan Bi Senah,
lantas keduanya tersenyum bersamaan. Tak tahu Badol apa yang Mayap bicarakan.
Kemudian Mayappun nampak pergi tanpa menyerahkan uang keroket dan naga sari
yang dimakan.
***
Sudah tengah hari para wargapun telah menyelesaikan kerja
bakti membersihkan parit. Puas mereka dengan hasil yang dilakukan gotong
royong. Aliran air nampak lancar. Rumput tak ada lagi yang menghalangi aliran
air buangan.
“Terimakasih para warga atas ketersediaannya mensukseskan
kerja bakti kita hari ini. Sekarang kita boleh pulang ke rumah masing – masing,”
ucap pak RT menutup kerja bakti.
Tapi, belum juga bubar warga dikagetkan dengan teriakan
Bi Senah, “tunggu pak RT. Tunggu dulu,
jangan dibubarkan.”
Warga bingung atas kehadiran Bi Senah. Lalu wanita paruh
baya itu bicara tanpa memedulikan warga yang masih berkumpul, “Cu Eman, keroket dan naga sarinya dibayar,
jangan main pulang jak.”
Cu Eman yang mendengar permintaan Bi Senah jelas kaget. “Kapan aku makan keroketmu Bi?, naga sari
apalagi, ke warung jak tak ada.” Protes berat ia.
“Cu memang tak makan, tapi Mayap Goyon dan Badol tadi
makan. Katanya semua kue Cu Eman yang bayar,” lanjut Bi Senah tak peduli.
Kesal bukan kepalang Cu Eman. Rasanya ingin segera ia
menemui dua manusia itu. “Mereka makan
berapa?”
“Delapan kroket dan tujuh naga sari,” jawab Bi Senah
mantap.
Cu Eman meradang. Warga tertawa nendang.
Posting Komentar untuk "cerpen Komedi, Delapan Keroket & Tujuh Nagasari"