Cerpen Komedi, Hakim Sehari

 



Mayap Goyon tengah asyik memberi umpan ayamnya di belakang rumah. Ayam jantan berkokok gagah. Ayam betina berkotek manja. Yang lagi di reban tak bisa bermain cinta pagi ini, fokus, konsentrasi mengeram telur. Takut juga para ayam betina karena setiap pagi Mayap megadakan inspeksi mendadak  reban – reban ayamnya.

            Dibolak – baliknya tubuh ayam yang sedang mengeram. Ada juga yang diberi terapi atau pemeriksaan kandungan oleh Mayap. Perlahan jari kelingking Mayap meraba, merasakan apakah masih ada telur di dalam sana. Tak peduli ia dengan mata ayam betina yang tak suka atas tindakan asusilanya itu. Menurut Mayap ini bukan perbuatan cabul, tapi deteksi dini kehamilan ayam.

            Entah darimanakah Mayap persisnya mengetahui pengetahuan medis mengenai ayam.  Terkadang ayam jantan yang datang mengadu kepadanya, mengeluh suara tak lantang. Dengan sigap Mayap menanSani pasiennya itu. Di berikannya resep ini itu. Tapi ayam jantan tetap serak, mendadak jadi katarak. Karena tak paham tulisan Mayap sama jeleknya dengan cakaran ayam.

            Tapi bukan hanya ayam saja. Entah angin apakah yang mengantarkan. Tiba – tiba Badol datang ke rumah Mayap, berkaok -  kaok ia macam ayam minta makan memanggil Mayap. Dengan sarung kumalnya, Badol menyerupai dirinya bak seorang ninja pembawa pesan penting saja.

            “Apahal Dol. Pagi tu digunakan untuk ketenangan. Jangan kau ribut tekaok - kaok macam ayam,” kesal Mayap.

            “Mayap,  tolong.  Ada orang nak bebunuh!”

            Melotot mata Mayap, tumpah, terlepas tempat umpan di tangannya. Ayam jantan diam. Ayam betina menggigil. Mayap terkesima. Seakan ada adegan slow motion pada diri Mayap dan daerah sekitar reban ayam. Tempat umpan perlahan jatuh. Butiran – butiran jagung seakan berbaris menunggu giliran untuk terjun bebas oleh gaya tarik bumi. Tiga anak ayam berjalan melintas di depan Mayap dan Badol, seakan sebagai tanda bahwa keadaan waktu kembali ke sedia kala. Filmis sekali.

            “Benarlah Dol?!  Pagi tu dipakai untuk  nyampaikan pesan yang baik, bukan pesan burok,” omel Mayap lagi.

            Badol sepertinya sudah mendapat mandat. Bila tak bisa diajak pakai omongan, ajak pakai tindakan. Dilepasnya sarung ninja yang melilit kepalanya, lalu disarungkannya ke badan Mayap.  Dan sekarang ia mesti menyeret Mayap karena sudah tak bisa diajak bicara.

            “Aih, apahal nie Dol. Janganlah tarik – tarik aku. Apahal sih, cerita...cerita?!”

            Adegan tarik sarung antara Badol dan Mayap juga tak kalah filmisnya. Badol menarik kuat, Mayap menarik cepat. Mata ayam jantan terpana. Mata ayam betina terlena. Melihat kejadian yang sangat gila itu. Seandainya ada sutradara film India, maka adengan keduanya itu bisa jadi rujukan mereka, romantis yang miris.

            “Udahlah Mayap, sekarang kita ke rumah Pak RT.  Ada  dua orang nak bebunuh. Cepat!!” Badol tak sabar.

            Akhirnya ikut juga Mayap. Walaupun dalam hatinya masih bertanya – tanya. Tak sempat juga ia permisi selamat pagi kepada ayam – ayamnya.

            Di depan rumah Pak RT orang – orang sudah ramai. Bapak – bapak ada yang bawa pancing, pakai sarung, bawa jarai. Ibu – ibu  juga tak kalah, ada yang menjinjing kuali, ada yang tangannya masih bebusa sabun, rambut tak beratur. Mereka semua terkejut juga, diseret dengan sendirinya menuju kegemparan berita pagi ini.

            “Tembawang tu milik aku Pak RT, aku yang nanamkan durian dan segela pokok di sana. Sejak kecik aku dengan apak aku yang jaga.” Si Jali ternyata.

            “Bohong Pak RT. Pembual kau Jali. Makan tanah orang. Tembawang tu punya kakek aku tau! Aku memang tak ikut nanam, tapi umak aku bilang itu tanah kakek aku.” Balas Suhar lagi.

            Mayap masih berada di kerumunan orang.  “Inilah Mayap orang nak bebunuh tu,” bisik Badol. Terlihat memang keduanya saling pegang senjata. Jali bawa parang, Suhar bawa kayu pesegi panjang. Amarah terlihat di mata keduanya. Entah siapa yang mengajak mereka berunding ke rumah Pak RT. Dan sialnya lagi mereka masih memegang senjata masing – masing.

            “Gawat nie Dol. Orang kalau nak berdamai, senjata tu di buang. Istilahnya gencatan senjata,” bisik Mayap lagi.

            “Mana bisa Mayap. Orang dah sepaning macam nie. Kalau akupun tak ada ampun, cangkul aku bawa,” cerocos Badol.

            “Kau kira nak nyari cacing bawa cangkul?  Kelai pakai cangkul, Dol..Dol.”

            Di tengah Pak RT mulai bersuara. Dengan senjata pamungkasnya, sisir di tangan dia mengetengahi.

            “Sudah! Diam. Sekarang aku tanya siapa yang punya tanah tu?”

            “Aku!”

            “Kau Jali?” tunjuk Pak RT dengan sisirnya.

            “Celaka kau. Aku yang punya!”

            “Kau Suhar?” tunjuk Pak RT dengan sisir lagi.

            Gagal. Atau salah pertanyaan Pak RT. Tak bisa ia menenangkan kedua orang yang bertikai.

            Akhirnya Mayap muncul ke tengah kerumunan. Warga kaget seperti melihat sang pahlawan yang baru keluar dari kepulan asap ketika kena bom. Sungguh menawan, kalau ada istilah Pahlawanis, maka Mayap orang pertama pagi itu yang menyandangnya. Jali dan Suhar terkejut karena Mayap tetiba datang dengan tersenyum dan memeluk keduanya. Persis seperti tentara perdamaian dunia yang ada di medan konflik. Heroik.

            “Apahal kalian kelai, nak bebunuh macam nie. Kita kan sodara. Janganlah nak beparang bekayu macam nie, sini parang kau Li, kayu kau Har.”

            Entah kekuatan apa yang dipakai Mayap. Kedua orang tadi mau menyerahkan senjatanya. Pak RT menghela napas. Warga juga ikut lega. Pahlawanis sekali.

            “Apa masalah kau bedua hah?” tanya Mayap lagi.

            “Dia nyuri tanah aku Mayap,” sergah Jali.

            “Kau yang ngaku – ngakukan tanah tu milik kau,” manas Suhar.

            Tangan Mayap memegang pundak keduanya. Di tatapnya lagi lantas tersenyum.

            “Eh Suhar dah lama kau nie tak jumpa, ngapa jarang muncul di kampong?” pancing Mayap agar suasana santai.

            “Aku ikut bini akulah Mayap, ke kampong dia,” jawab Suhar.

            “Jadi kau dah pernah liat tembawang kau tu?” tanya Mayap lagi.

            Suhar menunduk,  “sekali jak Mayap.”

            “Aaa...Jali. Kau kan dah tau dimana tembawangnya, yok kita ke sana. Kita liat sama – sama,” ajak Mayap.

            “Aku memang tahu Mayap, kan aku yang punya tanah tu,” sombong Jali menjawab.

            Mayap lalu mengajak Pak RT, Jali, Suhar dan beberapa warga melihat hutan tembawang yang menjadi masalah pertikaian. Warga yang ikut masih bertanya – tanya apa maksud Mayap mengajak mereka ke tembawang.

            “Mayap, ngapa kita nie lalu ke hutan?” tanya Pak RT, sisirnya semakin gencar merapikan kepalannya yang bingung.

            “Ikut jak,” jawab Mayap tenang.

            Warga lain tak sempat bertanya ke Mayap lalu bertanya dengan Badol yang kebetulan ikut, “ngapa ya Dol, Mayap tu ajak kita ke hutan?”

            Badol dengan sok tahunya menjawab,  “ kita nie nak ngeliat siapa antara Jali dan Suhar yang kuat. Kita nak liat pertarungan sejati.”

            “Jadi mereka nak bebunuh di hutan?” tanya warga lagi.

            Badol mengacungkan dua jempol dan tersenyum aneh.

            Akhirnya tak habis sebatang rokok mereka sampai di tanah hutan tembawang.

            “Lebat hutan nie, ada durian, tengkawang. Ih..ih..banyaknya, kau kah yang tanam Har? Tanya Mayap.

            Sekali lagi Suhar menunduk dan menggeleng.

            “Akulah yang tanam Mayap.  Aku dengan apak aku yang tanam tu,” sahut Jali.

            “Ooo...sekarang aku tanya ke kalian bedua. Bagaimana kalau tembawang nie kita bakar jak?” pancing Mayap.

            “Setuju Mayap, aku rencana nak buatkan kebun sawit,” jawab Jali emangat.

            “Kau bagaimana Suhar, mau dibakar nie tembawang?” tanya Mayap lagi.

            Suhar masih menunduk. Berat suaranya ingin menjawab.

            “Mayap, kalaulah nak dibakar saya tak rela. Biarlah segala durian, tengkawang, rotan dan segala isinya ini tetap ada, dan rela saya berikan ke Jali. Tapi kalau nak di bakar jangan Mayap, tak ada peninggalan kakek aku nanti,” jawab Suhar merendah.

            Mayap tersenyum paham. Diliriknya Pak RT dan berbisik kemudian. Minta izin ia untuk memutuskan perkara rumit ini. Tanpa menunggu harus kembali ke kampung Mayap memutuskan siapa pemilik tembawang ini sebenarnya.

            “Sebenarnya aku dah tahu siapa pemilik tanah nie dari asal. Cuma aku nak mastikan jak dan mendengar pendapat kalian bedua nie. Kau Jali mengaku tanah milik engkau, engkau yang tanam segala pokok di sini keringat engkau dan apak kau tanam. Tapi ngapa pas disuruh bakar kau senang. Tak kah engkau merasa rugi, merasa keringat kau dan apak kau tu hilang percuma hanya dengan di bakar. Lalu kau nak buat kebun sawit. Anak macam apa kau nie tak menghargai hasil tanam orang tua. Tanah nie memang bukan engkau punya, aku dah tahu dari asal usulnya. Kakek Suhar nie lah yang punya. Cuma sekarang tak ada yang uros. Kau datang ngaku – ngaku,” jelas Mayap panjang lebar.

            “Tapi Mayap –” potong Jali.

            “Apa nak tapi – tapi. Engkau memang memeliharanya. Itu tadi, karena keluarga Suhar nie tak ada yang peduli segala tembawang, sekarang baru ada si Suhar inilah. Kau lihat Suhar tak tega tembawang nie dibakar, karena dia tahu kakeknya lah yang menanam. Dia tak sampai hati ngeliat tembawang nie hilang,” lanjut Mayap.

            Pak RT manggut – manggut. Warga ikut – ikut.

            “Aaa..kau Suhar. Tanah nie memanglah punya kakek engkau, jaga baik – baik. Kalaupun kau jauh dari kampung jangan kau lupakan tembawang wares tu. “ nasehat Mayap.

            Selesailah perkara sengketa tanah ini. Melambai ujung tengkawang bertepuk ditiup angin. Bersiul daun bambu, bersenandung burung – burung. Riuh hutan jadinya seakan memberi selamat kepada Mayap karena telah menjadi hakim yang bijaksana.

           

 

 

Komentar