Cerpen Komedi, Siapa yang Punya Lelong?
Daun karet berguguran. Sebentar lagi akan menunggu
kedatangan daun baru. Memerlukan banyak cairan getah untuk proses munculnya
pucuk.
Kemarau sudah datang. Mayap Goyon bersandar di pondok
kebun karetnya. Merasakan sensasi kegelian dari sepoi – sepoi angin yang
merasuk di sela ketiaknya. Tak ada nyamuk hutan yang mau mendekat, tanpa
ocehan mereka menghindar dari Mayap. Tak
kuat nyamuk – nyamuk mencium aroma keringat dan bau badan Mayap yang lebih
menyengat dari Domestos Nomos dan masam dari pada Autan merek kulit langsat.
Sepi hutan. Sepi tembawang. Sunyi kebun. Kemarau tahun
ini serba panas. Udara panas, politik memanas, harga – harga beringas, bini –
binipun mengganas karena uang dapur berkurang sebab harga karet rendah.
Ditambah lagi batang karet yang meranggas menyedot cairan getah ke pucuk –
pucuk ranting.
“Getah karet murah...panas memperparah...hidup serba
salah...badan jadi gerah...apapun dibuat marah.”
Asyik berdendang mayap Goyon. Ketipak, ketipung suara
ember cat dipukulkannya. Bingung Mayap, setengah hatinya ingin meninggalkan
torehannya, separuh hatinya lagi ingin menunggu penuh tempurung – tempurung
tadah di pangkal pohon karet.
“Aih makjang, menetespun lama. Beri perangsang baru tahu.”
Manas Mayap memandang tetesan getah yang berleha. Niatnya
mau pakai perangsang getah, tapi tak jadi. Tak baik pikirnya memakai barang
macam tu. Segalanyalah, tak elok pakai perangsang – perangsang segala.
Normal lebih berasa.
Puas Mayap berdendang dan bosan memandang, akhirnya nguntus bin pulang ia. Biarlah getah –
getah itu beku sendiri dalam tempurung tadah. Jadi kulat jak besok, pikir Mayap dalam lenggang kangkungnya menuju
rumah.
Panas kemarau tak ada kompromi ternyata. Tak dipilihnya
siapapun makhluk di bumi untuk menghindar dari panasnya. Cacing menggelepar,
burung kuncit tak mampu mencicit karena kering lidahnya. Kodok diam kena
sariawan. Tupai tak mampu melompat, walau sudah pandai dan lihai, takut kualat.
Kemarau suka bermain nada, “sepandai – pandai tupai melompat, panas tetap
berteduh jua.” Asli, Mayappun tak kuasa menahan teriknya matahari yang
menyokong kekuatan mahadahyat sang musim, terseok – seok ia memayungkan
kepalanya dengan daun tengkawang. Hanya daun lalang yang tetap sombong tegap.
Menantang ujung runcingnya ke arah sinar matahari. Melambai, mengolok sang
kemarau.
Ternyata bukan hanya mengolok. Tegapnya barisan,
melambainya keramahan. Rumput lalang terlihat menyimpan suatu rahasia di siang
buta.
Pandangan sayu karena menahan hawa panas membuat tajam
sorot mata. Keanehan menghampiri pandangan Mayap. Apa gerangan isi karung yang
bersembunyi di barisan rumput lalang. Besar. Takut Mayap menghampiri. Dikiranya
isian usus perut sapi, tapi tak masuk akal, raya Haji belum sampai. Jadi jelas
bukan isian usus sapi.
“Apa benda nie? Diterawang tak bisa. Mata dah redup siang
panas macam nie. Ah -.”
Tanpa komando. Tanpa peduli barisan brikade tegap rumput
lalang. Tak ada peluit larangan dari burung kuncit. Mayap memberanikan diri
membuka karung besar di hadapannya.
“Berenda – renda. Aih, baju, rok, celana. Aih lepis, kain, anak – anak, orang tua,”
macam berhitung Mayap keluarkan segala isi karung tersebut.
Kain lelong ternyata. Sepertinya ada oknum yang sengaja
menitipkan di semak rumput lalang. Siapakah dia. Darimana asalnya. Mau dibawa
ke mana nantinya? Jangan tanyakan Mayap. Tanyakan saja pada lalang yang
bergoyang.
***
Daerah penemuan karung pakaian bekas itu memang dekat
jalan poros. Muara dari persimpangan jalan menuju perkebuna warga.
Hari ini Mayap mengadakan sayembara. Eh, apakah namanya,
pengumuman kah, apakah. Pastinya sudah ada Pak RT, Cu Eman, Toke Ali, Om
Cahyono, dan Badol. Mereka berkumpul di teras rumah Mayap.
“Nah, inilah barangnya,” berhamburan segala jenis pakaian
dari karung yang dikeluarkan Mayap.
“Lelong nih Mayap. Berarti ada orang yang nak mesankan
pakaian bekas di kampong kita nie,” selidik Cu Eman.
Semua saling pandang. Mayap memandang Pak RT, Pak RT
memandang Cu Eman, Cu Eman memandang Toke Ali, Toke Ali memandang Om cahyono.
Kemudian kompak pandangan mereka berlima tertuju ke arah Badol yang tanpa basa
basi, permisi apalagi, mencoba mengenakan celana lepis dari tumpukan lelong.
“Pas, berapa nie Mayap?, muka polos Badol tak memedulikan
tatapan kiri kanannya.
“Woi...kau kira aku nie nak bejual kah Dol?! Sekarang kita
nie diskusi, siapa pemilik barang nie,” manas Mayap.
“Kita mesti melakukan investigritasi Om cahyono, Om
selaku tentara pasti punya wewenang untuk itu,” usul Toke Ali.
“Maaf Toke, bukan investigritasi. Tapi investigasi,
betulkan Om?” koreksi Badol sambil kasak kusuk melepas celana lepis.
“Menurut saya Om, bagus pakaian nie kita bagikan jak ke
orang kampong yang membutuhkan,” usul Cu Eman.
“Betul. Setuju Cu,” Badol memberi dua jempol.
“Setuju....setuju jak kau nie Dol. Aaa...,” Mayap
nunjukkan kepal tangannya.
“Sudah..sudah. sebaiknya kita selidiki dulu. Kita coba
tanyakan ke warga apakah ada yang memesan atau menjual pakaian bekas di kampung
kita. Karena bisa jadi, dari kampung sebelah yang kebetulan menitipkan karung
itu sementara dari mobil ekspedisi,” Om Cahyono menenangkan.
“Setuju Om, setuju,” Badol memberi dua jempol lagi.
Mayap melirik tajam. Tak senang ia dengan tingkah Badol
yang kurang konsisten itu. Lama mereka diam. Menatap tumpukan pakaian bekas
yang berhamburan.
“Baiklah. Kita putuskan begini saja. Besok kita tanyakan
ke warga apakah ada yang tahu tentang hal ikhwal pakaian bekas ini,” putus pak
RT dengan sisir mantap.
“Se....”
“Diam Dol. Kau nie setuju setuju jak. Kalau gitu besok
kita tanyakan ke warga. Misalkan tidak ada yang tahu, kita kumpul sini lagi!”
sambung Mayap mantap.
***
Sesuai keputusan kemarin, hari ini mereka keliling
mencari informasi menjadi intelejen dadakan.
Toke Ali, mewawancarai setiap pembeli yang datang belanja
di warungnya. Mulai anak kecil beli permen, bapak – bapak yang belikan rokok
juga ibu – ibu yang nyari gula kopi, semua ditanyakannya.
“Tak tau Toke. Jangan – jangan Toke yang bebisnis lelong.
Pura – pura nanyakan orang. Tak baik macam tu Toke sebaiknya jujur,” jawab
seorang ibu.
“Aku? Aku nie jual
lelong, huh. Tak sudi. Jangan asal tudoh ya!”
Gagal Toke Ali mendapatkan informasi.
Di tepian sungai Cu Eman yang lagi bermandi ria di
lanting sibuk juga mencari informasi. Protes berat anak bujang yang kebetulan
mancing udang gala di dekatnya. Tak bisa konsentrasi mancing karena pertanyaan
Cu Eman. Dengan ibu – ibu yang nyuci pakaianpun ditanyakannya juga. Pelan ia
pancing omongan.
“Kau nyuci lelong, ye?”
Melirik tajam ibu tadi, “ini baju barulah Cu, nah ada
mereknya, baru di bagi dari sekolah; SDN SUNGAI LIKU.”
“Aih itu baju seragam,” kilah Cu Eman
“Makanya jangan nudoh lelong, mana ada baju lelong untuk
seragam sekolah,” ibu tadi meretel.
“Aih, jangan tersinggung, siapa gak tahu sekolah tu tak
ada dana, jadilah pakai baju lelong,”
jawab Cu Eman semaunya.
Dijawab seperti itu ibu tadi melotot mau melempar sikat
kain ke arah Cu eman. Cu Eman tak kalah sigap, sejak awal dia sudah pasang
ancang – ancang melompat lari dengan handuk asal – asalan.
Pak RT yang punya kebiasaan seminggu sekali ke pasar.
Semenjak kejadian itu tiga jam sekali ia ke warung kopi. Mencuri dengar kalau
ada yang keceplosan membicarakan soal lelong. Sengaja ia duduk dekat para supir
truk.
“Kalian nak ke mana? Basa – basi Pak RT menunjuk – nunjuk
lawan bicaranya dengan sisir kecilnya.
“Nak ke hulu pak, ngantar barang,” jawab seorang supir
sambil mengaduk gelas kopinya.
“Eh kalian kalau bawa mobil, biasa kah dititip barang,”
selidik Pak RT berbisik.
“Nak nitipkan apa pak?” supir truk balas berbisik.
“Kalau lelong biasakah?” tanya Pak RT berbisik lagi.
“Lelong? Antar ke mana pak?” balas supir lebih berbisik.
Mendengar jawaban berbisik juga, Pak RT mulai curiga.
Langsung tancap gas diomelnya supir truk dengan berbagai sangkaan dan tuduhan.
Dikeluarkannya juga peraturan mentri perdagangan yang mengatur permasalahan
import barang. Sejak awal memang sudah disediakannya materi seperti itu, jaga –
jaga aja siapa tahu orang yang dituduh lebih pintar. Puas dia mengoceh, tanpa
permisi supir truk tadi sudah menghilang dari hadapannya. Tak ada yang
memedulikan ocehan Pak RT.
Berbisik teman si supir, “gila orang tu. Pengen nak jadi
mentri mungkin.”
Gagal. Seribu sangkaan, omelan serapah tak mendatangkan
hasil bagi Pak RT.
Di tempat lain Badol, mendatangi kerumunan anak – anak
yang sedang bermain guli. Diperhatikannya baju, celana anak – anak yang
bermain. Siapa tahu ada merek lelong pikirnya.
“Dek, sini abang liat baju kalian,” pinta Badol tetiba.
Anak kecil mulai takut. Dihampirinya teman – teman lalu
berbisik mereka. Tangan meraih guli – guli yang masih berserakan di tanah.
Tanpa peduli keberadaan Badol, mereka ambil langkah seribu. Tinggal Badol yang
keheranan dengan muka lugunya.
Di rumah, Mayap Goyon tak bisa ke mana – mana. Takut ia
meninggalkan barang bukti. Takut lelong
– lelong diambil orang, dicuri tikus, dikencing kucing.
“Tak boleh ditinggal nie. Bahaya! Sekarang orang suka nak menghilangkan barang
bukti. Pencucian uang atau apalah. Harus aku jaga,” gumam Mayap khawatir.
Dilihatnya lagi karung lelong di pojok ruang. Jiwa
kepahlawanannya muncul tiba – tiba. Terbesit niat itu. Semoga berkah pikirnya.
Toke
Ali, Cu Eman, Pak RT, Badol sudah berkumpul di rumah Mayap Goyon sekarang.
Mereka mengeluh hasil investigasi mereka gagal total. Kecewa dan saling cerita
kegagalan.
“Bagaimana
nie Mayap, tak ada info yang cocok?” tanya Cu Eman.
“Baiknya
kita bakar jak lelong tu Pak RT, daripada kita menanggung beban,” usul Toke
Ali.
“Tak
bisa! Bagusnya bagikan jak, kita sama kita nie. Lebih bagus,” usul Badol gila.
“Suka
hati kau Dol, bagi..bagi. Ini barang ilegal, tanpa izin. Melanggar hukum.
Jangankan kau jual, untuk dipakai saja kau bisa kena pasal!” Pak RT meradang
juga.
“Usul
Toke benar juga, kita bakar. Biasanya di tipi
tu petugas suka bakar barang ilegal. Gula dibakar, ganja dibakar, beras
dibakar. Bakar jak barang nie, penuh rumah aku jadinya,” simpul Mayap
Mereka
saling pandang. Kemudian tanpa ada yang tahu siapa yang mengomando. Seperti
dapat bisikan gaib yang bersamaan, mereka mengangguk mantap.
Di
belakang rumah Mayap mereka membakar pakaian yang diduga lelong tadi. Tak tega
Badol melempar celana lepis ke dalam
kobaran api.
Ditengah
panasnya siang. Di antara ketidakpastian mereka, akhirnya datang Om Cahyono
membawa seorang wanita paruh baya yang tak
mereka kenali sebelumnya.
“Selamat
siang bapak – bapak. Sesuai janji kita kemarin, saya sudah mendapatkan
informasi mengenai barang yang ditemukan Mayap. Dan ibu inilah yang memiliki
barang tersebut. Katanya barang tersebut adalah pakaian bekas yang akan di
sumbangkan ke panti asuhan di desa hulu. Karena ban mobil kemarin pecah, jadi
sebagian barang ditinggalkan di pinggir jalan. Nah ini bu, Mayap yang
menemukannya.” Kata Om Cahyono panjang lebar.
“Betul
yang dikatakan Om ini, jadi boleh saya minta barang saya itu pak?”kata ibu tadi
dengan senyum mengembang.
Lima
manusia yang tadinya panas karena kobaran api tiba – tiba dingin. Mata mereka
kosong. Apalagi Toke Ali yang merasa mengusulkan pembakaran tadi. Mayap lebih
serba salah, padahal jiwa kepahlawanannya sudah terasa sangat membanggakan.
Menyelamatkan beberapa kain lelong agar
tidak terbakar. Tapi kini, nasi sudah menjadi bubur, bubur sudah masuk ke perut
tak bisa dimuntahkan.
Mereka
saling pandang. Tersenyum kecut, meringis ke arah ibu tadi. Sekali lagi, tanpa
komando secara bersamaan pandangan mereka mengarah ke arah kobaran api. Balik
tersenyum lagi ke arah ibu, menelan ludah. Tersenyum masam.
***
Kemarau
kapankah berakhir? Sepoi – sepoi angin menggugurkan daun karet. Nyamuk – nyamuk
berbisik melihat mayap bersenandung.
“Panasnya
api membakar lelongku..tapi syuuukur aku..selamatkan..satu. barulah...sekarang
aku..menyadari..mengamankan barang..buktiii oooo suciii sekali...” asyik Mayap Goyon
dangdutan. Nyamuk yang keroncongan sulit juga hinggap, karena tumben Mayap
pakai baju lengan panjang.
Posting Komentar untuk "Cerpen Komedi, Siapa yang Punya Lelong? "