Cerpen # LADANG BERDENDANG API BERGOYANG




 

Hewan – hewan hutan tak habis pikir, api tiba – tiba datang tanpa pemberitahuan. Membara, panasnya menusuk kulit – kulit mereka. Asapnya membius tajam penciuman.

            “Lari! Lari!’’

            Kadal keluar dari lubang kayu, ular menyembul di semak – semak. Katak melompat dengan lompatan tak biasa berharap lebih cepat menghindar. Belalang kayu, belalang daun sampai belalang akar menolak kuat tumpuan kakinya terus terbang menjauh agar selamat.

                                                                        ***

            “Pokoknya kata Bos Besar, bakar saja. Jangan hiraukan larangan. Kalian mau kita tak di gaji?”kata seorang  mandor kepada beberapa bawahannya.

            “Bagaimana kalau kita ditangkap Mandor? Pembakar lahan berat hukumannya!”jawab salah satu bawahan.

            “Aku disuruh Bos Besar tau? Kalau kita tak bakar bagaimana nak tanam, sekali lagi kau tenang sajalah, masalah hukum, penjara, apalah, biar Bos Besar punya urusan. Kita, kebagian bakar!”balas Mandor tegas.

            “Disuruh bakar, ya bakar saja. Jangan banyak cincong. Bakar..bakar!”timpal salah satu bawahan lainnya.

                                                                        ***                 

            “Sore nanti kita nyucul uma pak?”tanya Panus seorang anak yang baru berangkat bujang.

            “Aok nak, kita nak behuma. Nyucul dulu sebelum nugal.”Jawab Apaknya sambil membuat obor dari potongan bambu.

            Nyucul itu tidak bahayakah pak? Kalau apinya menjalar lebih luas, bagaimana?”tanya Panus dalam cemas.

            Apaknya menoleh diiringi senyum kemudian tangannya berusaha menjejal sabut kelapa sebagai sumbu di lubang bambu.

            “Kalau kita nak behuma nak, ada tahapan – tahapannya. Tak sembarang nyucul, bakar. Kalau nak bakar uma, kita mesti sama – sama dengan orang kampung. Gotong royong sesama pemilik uma. Jadi akan banyak orang nantinya yang akan menjaga api. Waktu menebas lahan tempo haripun, sudah dikokas pinggiran uma selebar kurang lebih dua meter, agar api tak bisa keluar dari uma. Ada lagi nak, kau akan dengar uma berdendang.’’

                                                                        ***

            Setelah kebakaran itu para hewan berkumpul. Ular sawah lemah melingkar, kadal kehilangan ekor, belalang lemah tungkai kaki. Ketiganya masih terdiam, berusaha mengumpulkan sisa tenaga hanya untuk bersuara.

            “Hei belalang, kau terlalu berisik. Tak ada kita dengar ladang berdendang,”tuduh ular kepada belalang.

            “Betul ular, karena suaranya juga kita tak ada mendengar pomang – pomang warga kampung yang menyuruh kita lari sebelum bakar ladang seperti tahun – tahun sebelumnya,”tambah kadal di sisa tenaganya.

            “Kalian berdua hanya bisa menuduh. Aku terbang ke sana – kemari tak ada mendengar ladang berdendang, apalagi pomang – pomang dari mulut manusia. Tapi..,”suara Belalang terpotong, nampaknya ia harus lebih tenang dengan tenaga yang hanya sedikit itu.

            “Tapi apa Belalang?”tanya Ular dan Kadal hampir bersamaan.

            “A..akuu..aaaakk...’’

            “Belalang?!’’

                                                                        ***

            Beberapa orang dari perusahaan mulai membakar lahan untuk perkebunan sawit. Ada dua puluhan orang yang ikut, namun tak sebanding dengan luas lahan yang akan mereka buka. Harus mereka kerjakan, walaupun mereka tahu ada larangan. Persenan yang menggiurkan sudah diiming – imingi oleh Bos Besar, bodoh kalau mereka menolak. Apalagi ada dukungan bila mereka tertangkap.

            Hanya ada uang di kepala mereka para pembakar. Tak tahu menahu arah angin di siang hari, ceroboh sekali tak memberi pembatas di sekeliling lahan, apalagi menjaga api setelah membakar. Prinsip mereka; sulut lalu tinggal nanti ada yang memadam. Terpenting jangan berlama – lama di medan api harus segera lari kalau tak ingin masuk bui.

                                                                        ***

            Matahari telah condong ke arah Barat. Beberapa orang kampung yang sudah dewasa memulai ritual ladang berdendang. Tangan – tangan mereka sudah memegang peralatan untuk berdendang. Ada yang membawa piring seng, potongan bambu, ember – ember, potongan besi. Para wanitanya membawa tongkat – tongkat kayu.

            Sejurus kemudian mereka memukul alat – alat yang sudah ada di tangan mereka masing – masing, lalu berdiri di pinggiran uma. Seorang tetua kampung bepomang mengucapkan salam dan himbauan kepada hewan – hewan yang masih berada di uma agar segera lari, karena warga kampung akan memulai membakar lahan.

            “Ini yang namanya ladang berdendang Panus. Kau tak tahu bahasa hewan, tapi kita harus punya perasaan dan adab terhadap mereka.”Kata sang Apak.

            “Kalau masih juga ada yang masih di dalam dan terbakar, apak?”tanya Panus lagi.

            “Bukan salah kita. Minimal kita sudah permisi nak. Kau tentu tak mau disumpah serapah segala hewan itukan. Haha,”lanjut Apaknya.

            “Memang bisa hewan menyumpah?”

            “Tak bisa kita bahasa hewan, apalagi mendengarnya menyumpah, nak”kekeh Apaknya lagi.

            “Jadi?”Bingung Panus

            “Kalau tak ada ritual berdendang ini, biasanya orang kampung akan sakit matanya setelah nyucul uma,”bisik Apaknya seakan takut dengan kebenaran mitos itu.

            Sang tetua kampung menyuruh warga berkumpul dan mengambil obor masing – masing. Menunggu sekian jenak memberi waktu hewan memilih takdir hidupnya./DG


Nyucul Uma : kegiatan membakar ladang

Behuma  :  berladang

Nugal   : kegiatan menanam padi dengan tugalan/ membuat lobang dengan tongkat kayu.

Dikokas   :  membersihkan sekeliling lahan sebagai jarak dari lahan yang tak terkena bakar

Pomang  :  bukan mantra; lebih kepada ucapan permisi kepada makhluk lain selain manusia.

Posting Komentar untuk "Cerpen # LADANG BERDENDANG API BERGOYANG"