Cerpen # Madu Ayah Memabukkan
Aku masih menatapnya yang
duduk di antara para orang tua murid lain. Kedua mata memang gigih tak
ingin melihat,malu, kecewa, namun mata hatiku lain. Tak tega kalau harus
membuang muka dari ayah. Kata hatiku berusaha ingin membanggakannya hari ini.
Bercelana pendek, dengan kaos kumal yang dikenakannya. Miris aku melihatnya. Bukan
karena pakaian kumal yang melekat di tubuhnya, sehingga sangat kontras dengan
orang tua lain yang berpakaian lebih rapi. Bukan. Aku tak malu.
Karena janjinya. Karena kebohongannya.
Aku menagih janjinya. Dan dia membohongiku.
***
“Yah, tahun ini ayah harus datang ke sekolah. Malu aku.
Setiap pengambilan rapor aku selalu sendiri,”
“Mengapa harus ayah yang datang Mis, kan kamu yang sekolah,” jawab ayah
datar.
“Tapi yah..., guru – guru, dan juga teman di sekolah suka
tanya,” sambungku lagi seakan memberi paksaan ke ayah.
Ayah tak menjawab. Pergi saja meninggalkanku di depan
pintu dapur.
Sejurus kemudian ia berbalik. Ada yang tertinggal
pikirku.
Tidak, ayah mendekatiku dan berbisik pelan, “kalau tidak
ada aral melintang, ayah datang. Tapi, jangan kau berharap banyak. Ayah takut
lebah akan ganas tanpa disadari.”
Kembali ditinggalkannya aku yang masih tertegun
mengiringi langkah gontainya.
Ayah akan ke hutan. Katanya mencari madu. Aku sampai
sekarang jarang melihatnya membawa cairan manis itu sampai ke rumah. Apalagi
ikut dengannya ke hutan. Pasti tidak dibolehkan.
“Kamu fokus saja sekolah, jangan pedulikan ayah.”
Begitu saja kata yang terlontar, saat aku berkeinginan
sekali untuk ikut dengannya mencari madu.
Beliau orang tua yang baik menurutku. Tak pernah ia marah
dengan amat sangat. Ayah selalu menasehati dengan cara – cara yang bijak.
Setidaknya seperti itu yang selama ini aku alami.
Semenjak meninggalnya ibu. Ayah lebih banyak bekerja,
jarang untuk bercengkrama denganku. Mata hanya melihatnya di waktu pagi saat akan
pergi ke hutan, dan kembali menatap wajahnya yang kelelahan ketika malam sudah
tiba.
Aku ingin sekali
mengerjakan PR bersama ayah. Ya, minimal bisa melihatnya terduduk manis
memandang anaknya ini menyelesaikan tugas sekolah. Tak harus juga romantis,
berharap ayah yang mengajariku mengerjakan soal. Tapi hal yang romantis bagiku
itu tak akan kunjung datang. Sebab wajah capainya membuatku tak tega.
Memaksakan khayalan indahku itu menjadi kenyataan.
Aku ingin membantunya. Tak tega melihatnya bekerja keras
di hutan seperti itu. Tapi, sekali lagi ketegasannya yang santun membuat aku
urung mengabdi kecil pada beliau.
Seperti waktu itu. Entah mengapa ayah cepat pulang, tidak
biasanya.
Aku segera mengambil baju yang telah dipakainya seharian.
Baju kumal yang menjadi seragam hariannya. Aku hendak mencuci baju tersebut,
berharap bisa meringankan kelelahannya dan menunjukkan baktiku.
“Jangan Misdi, biar ayah saja yang cuci. Kamu belajar
sana. Jangan cuci baju,ayah bisa kok.”
Aku hanya bisa diam melihatnya menarik paksa baju yang
hendak kucuci. Ayah sangat tidak adil bagiku.
Dia memberikan tenaga,jiwa dan hartanya untuk aku
anaknya. Memang wajar sebagai orang tua. Tapi, aku anaknya juga berhak membantu
meringankan beban ayah. Tidak adil.
***
Malam yang aneh. Dengan perasaan yang samar. Di hutan aku
ini.
Dalam benak ini sosok ayah terlihat kesakitan.
Erangannya samarku dengarkan. Sekarang
bercampur deru nafasku yang sesak. Semakin dekat sosok ayah menghampiriku.
Pelan terseret kaku. Aku yang samar – samar sekarang tak jelas. Rupa ayah mendekat, kepalanya menghampiri
kepalaku. Mulutnya bergetar ketika ku dengar berbisik di telinga.
“Ayah tak kuat Mis, lebahnya banyak. Mereka menggigit.
Mereka tak suka ayah mengambil madu mereka,”
Suara bisikannya melemah. Sosok ayah yang kunampak kali
ini tersungkur di sampingku.
“Ayah...ayah...ayah...,”
Aku tersentak karena teriakkanku sendiri. Peluh membanjiri
habis tubuhku. Nafas tersengal – sengal. Aku mimpi. Tapi begitu nyata.
Pagi ini adalah pembagian rapor, dan ayah akan berjanji
akan menemaniku untuk ke sekolah.
Akan ku banggakan beliau nanti. Dengan prestasiku selama
ini. Tak sia – sia aku terus belajar, dan ayah juga yang selalu menyuruhku
hanya fokus sekolah.
Tapi di mana ayah. Ke mana lelaki tua itu sekarang.
Katanya ingin menemaniku mengambil rapor. Mungkin beliau lebih awal ke hutan
mengambil sisa madu atau apalah pikirku. Malas juga aku meneruskan rasa panikku
yang belum selesai oleh rasa mimpi semalam. Bisa jadi ayah berangkat subuh
tadi.
Aku akan ke sekolah. Mengambil rapor semester pertama
kelas enam. Sekarang masih terduduk di
depan teras. Sepatu sepertinya protes karena lama menunggu untuk dikenakan. Mencoba
menanti ayah sejenak. Siapa tahu dia
datang. Kalau pun belum ku harap dia menyusul ke sekolah.
Sungguh penantian yang tak diinginkan. Aku masih tak
percaya akan pengelihatan mataku pagi ini. Ayah kembali dari hutan memang.
Dengan pakaian kumalnya, tapi siapa empat orang yang bersamanya. Ayah, siapa
mereka?
***
“Ayah pasti akan ke sekolah Mis, jangan hirau. Kamu fokus
sekolah,”
“Hari ini aku tak bisa fokus lagi yah, ayah kenapa? Siapa
mereka?” aku memeluk ayah tak kuasa menahan tangis.
Ayah membalas pelukkanku lebih erat. Belum pernah aku
rasakan dekapan ayah seerat sekarang.
Air mata ayah mulai mengalir deras. Aku semakin bingung.
Tapi pelukannya sedikit menghiburku. Sekarang beliau perlahan melepas
tangannya, di pandangnya lagi mataku.
Tangan kasarnya pelan mengusap basah pipi yang kesedihan.
Kemudian ayah bebalik menghampiri empat orang yang tadi
bersamanya. Entah apa yang mereka bicarakan.Lalu ayah menghampiriku.
“Kami akan mengantarmu Mis,”
“Mereka ikut?” tanyaku tak paham.
Sejurus kemudian datang mobil dari ujung jalan mendekat
ke arah rumah. Mobil dengan bak belakang berkursi panjang.
MOBIL POLISI
“Ada apa ini ayah, kenapa ada mobil polisi. Mereka pasti
polisi juga kan?” tanyaku menunjuk keempat orang tadi.
Ayah tertunduk dalam. Sepertinya ada penyesalan di
hatinya saat ini.
“Misdi, sebenarnya ayah....,”
Lama beliau menggantungkan omongannya. Aku masih tak
percaya akan kejadian ini. Ada mobil polisi dan pastinya keempat orang yang
melihat kegalauanku saat ini juga polisi. Apa ini sebenarnya.
“Misdi. Ayah selama ini bukanlah pencari madu. Setiap
pagi ayah ke hutan sebenarnya...” ayah menangis kali ini.
Tak sanggup aku melihatnya.
“Ayah membuat arak mis, minuman keras. Itu sebabnya ayah tak
mau engkau mencuci baju bekas ayah. Tak banyak bicara selepas bekerja ketika di
rumah,ayah takut kamu tahu Mis. Ayah malu.”
Ayah membeberkan kebohongannya selama ini.
Madu tak ada selama ini. Entah mengapa aku jadi muak di
depannya. Tak mau mendengarkan penjelasannya. Kecewa .
Tak peduli lagi aku. Segera kubalikkan tubuh dan berlari
menuju ke sekolah. Tanpa memedulikan air mata yang berderai menemani langkah
kecewaku.
Fokus. Bukankah itu yang diajarkan beliau selama ini.
Tanpaku menatap lagi ke arahnya yang terlanjur membohongiku selama ini.
***
Aku masih menatapnya yang
duduk di antara para orang tua murid yang lain. Kedua mata memang gigih
tak ingin melihat,malu, kecewa, namun mata hatiku lain. Tak tega kalau harus
membuang muka dari ayah. Kata hatiku berusaha ingin membanggakannya hari ini.
Bercelana pendek, dengan kaos kumal yang dikenakannya.
Miris aku melihatnya. Bukan karena pakaian kumal yang melekat di tubuhnya,
sehingga sangat kontras dengan orang tua lain yang berpakaian lebih rapi.
Bukan. Aku tak malu.
Sekarang aku di depan barisan para murid dan orang tua
yang menjadi undangan. Seperti tahun – tahun sebelumnya. Setiap sang juara
kelas akan menyampaikan kesan dan pesannya di depan halaman.
Ayah nampaknya santai di sana. Tak peduli ia dengan
tatapan sinis orang tua lain. Mungkin ia percaya aku akan membanggakannya di
hari yang mana ia merasa di hinakan.
Di dampingi dua orang polisi ayah duduk menatap aku
anaknya dengan harap. Apa yang ingin aku sampaikan.
Suara salamku terdengar serak jelas melalui mikrofon. Aku
berdehem pelan. Lirikanku masih mengarah ke ayah.
“Terima kasih para guru yang sudah mendidik saya dan
....,” tak sanggup aku ingin mengucapkan kata ayah. Tenggorokkanku tiba – tiba
kering. Air mataku mulai berlinang.
Kulihat ayah, dia juga menangis. Sepertinya dia tahu
perasaanku. Aku berusaha tenang. Aku ingin ayah bangga hari ini niatku. Ini
saatnya.
“ Dan untuk Ayah.
Terimakasih sudah menjadi Ayah yang baik selama ini, Ayah jangan bohong lagi.”
Aku sudah tak tahan. Aku terpaksa menangis di depan warga
sekolah. Begitu juga para tamu. Ku lihat para orang tua di samping ayah banyak
yang menagis haru.
Mungkin mereka sudah tahu semuanya daripada aku seorang
anak kecil ini. Mereka lebih paham yang terjadi dengan ayahku sekarang.
Dan ayah nampak menangis
haru melihat anaknya yang juga
menagis. Tapi aku tak tahu tangis ayah apakah jujur sekarang. Adakah dia
menyesal sudah membohongi anaknya dengan pekerjaannya selama ini.
Tak ada madu. Juga lebah – lebah ganas yang diceritakannya.
Bukan manisnya madu, tapi mengolah minuman keras
memabukkan yang di kerjakannya di hutan.
Ternyata lebah ganas itu bukan hanya di mimpi. Di dunia
nyata juga ada. Ya, sekarang mereka menangkap ayah. Karena madu ayah memabukkan./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # Madu Ayah Memabukkan"