Cerpen # PATOK BATAS
Sekiranya magrib dan subuh batas siang dan
malam. Dan ruang udara yang memenuhi bumi ini batas antara tanah dan langit.
Ada pantai yang menjadi sekat antara daratan dan lautan. Itu begitu nampak,
begitu lekat dan pasti ditangkap mata.
Tapi, aku tak akan bisa menggapai batas yang
tak kasat mata. Tertutup oleh hijab transparansi adat budaya. Pembatas yang
bahkan akan selalu dilintasi oleh berbagai aktifitas keragaman manusia. Sungguh sulit. Batas,
bukan semata Patok yang tertancap kuat.
***
**** ***
“Aku tak
bisa terus - terusan menjagamu, Kim.”
“Apa
susahnya Gus, kau hanya meyakinkan teman - temanmu agar aku ini tidak di
tangkap. Cukup!’’
Aku sudah beberapa kali diingatkan oleh
Agus perkara ini. Penjagaan, pengamanan, atau apalahlah ia menyebutkan dirinya
itu. Aku tak meminta ia terus mengawalku, menenteng senapang dengan pakaian
dinas bak seorang pengawal kepresidenan. Bukan. Aman yang aku butuhkan cukup
bagaimana cara Agus meyakinkan teman - temannya untuk tidak curiga apalagi
menangkapku.
Bukan nikmat juga mengendap - endap di
bawah rimbunan semak - semak, terpeleset dan terjatuh di jalan tikus yang
seperti labirin di perkebunan sawit. Tapi Agus tak tahu. Agus tahunya hanya
menjaga perbatasan NKRI dan negara Jiran itu. Menjaga batas yang bermodalkan
patok beton persegi panjang itu. Dia belum tahu batas halusinansi, batas
imajiner yang selalu di langgar masyarakat adat di sini.
“Berbisnislah yang sehat Kim, jangan hidup
dari cara kotor seperti ini. Membawa gula dan sembako lainnya dari negara
tetangga tanpa izin.’’
Agus, Tentara muda itu mendakwahiku.
“Gus...,
Kau temanku. Jangan kau sok nasionalis seperti itu hanya karena merah putih
selalu terpasang di bajumu. Lihat orang kampung sini Gus, kalau aku ngotot
dengan nasionalis kolotmu dengan membeli barang dari dalam mahal,”sekali lagi aku sanggah pernyataan tentara muda itu.
Agus memang porotektif orangnya. Kaku. Aku
tahu dia hanya berusaha menjalankan tugas, dan ingin berusaha memahami
persahabatan kami. Jadi wajar dia tampak seperti waspada. Jangan sampai dia,
dan aku terkena batunya karena bisnisku ini.
Aku tak peduli dengan argumentasi Agus. Tak
sepaham kami. Bukan salah dia juga menceramahiku seperti itu, tapi bukan serta
- merta aku salah total, aku tidak
mencuri, menjarah hak orang lain yang bukan seharusnya jadi milikku. Bagaimana
dengan para koruptor yang menjarah, bahkan membisniskan kekuasaannya untuk
kepentingan diri sendiri. Dan hal itu lebih parahnya dilakukan di dalam negeri
sendiri, bukan korupsi ilegal dari negara lain.
Apakah mereka memahami dan berusaha untuk
paham? Tidak. Mereka belum paham masyarakat kecil seperti aku, dan sebagian
besar masyarakat perbatasan di sini. Mereka Hanya tahunya batas - batas hukum,
tapi mereka sendiri yang menerobos batas itu. Dan Agus belum memahami batas
itu.
***
*** ***
“Akim... tunggu!” sergah Agus saat aku akan
memasuki jalan tikus yang menjadi rute penyusupan barang daganganku dari negeri
Jiran. Hari ini stok gula mulai menipis, aku harus ambil di seberang. Entah
mengapa kami di perbatasan ini kerap menyebut negeri tetangga dengan”seberang’’.
Aku terus berjalan. Jarai dan parang yang
aku bawa sudah menjadi ciri khas di mata Agus. Aku pasti akan ke batas sepi itu
menurutnya.
Aku tak memedulikannya, karena teman - temannya juga tak curiga bila
kami bercakap - cakap sambil berjalan menuju patok batas. Bagi teman - temannya
aku hanya melewati sebentar untuk ke ladang saudara setanah yang berbeda
negara.
“Kim...
maaf, kali ini aku tak bisa terlalu jauh membantumu.’’
Aku terdiam. Menatap pepohonan yang berjejer
lebat di sekeliling. Jauh di depanku terlihat samar - samar perkampungan yang
akan aku tuju untuk membeli sembako. Perkampungan setanah yang tak lagi
senegara. Bahasa adat kami bersama namun rupiah tak akrab di sana.
“Sudahlah Gus, jangan kau pikirkan aku.
Kembalilah ke posko bersama teman – temanmu.”
“Tapi
Kim, berhentilah. Jangan lagi.”
Belum habis kata - kata Agus yang ingin
mendakwahiku, aku pegang kedua bahunya. Kutatap matanya dalam. Agar dia bisa
menatap batas sesungguhnya negeri ini.
“Gus, di mana patok negaramu?”tanyaku setelah
itu.
Agus masih ragu, karena patok batas tepat di
antara kami berdua. Dia hanya menunduk, seakan memberi isyarat; itu di antara
kita berdua.
Aku tersenyum. “Bukan Gus, bukan batas itu yang kumaksud.”
Agus kembali heran. Tak ada cahaya di
matanya. Kosong tak mengerti arah pernyataanku. Dia terduduk tepat di samping
patok, seakan ragu keberadaan balok beton yang tertancap sudah entah berapa
tahun itu.
“Kau, dan negara ini memang memberi batas bagi
kami, dan adat istiadat di sini. Tapi tidak dengan aku, alam dan masyarakat
yang ada di wilayah ini. Tak ada batas bagi kami. Ekonomi, isi perut dan
kekeluargaan kami telah merobohkan batas - batas yang di buat oleh negara
ini.’’
Aku sekarang yang mendakwahi Agus. Bukan
tanpa sebab. Aku hanya tak mau di larang, tanpa ada jalan keluar yang jelas.
Batas patok itu bukan penghalang bagi kami. Hukum dan aturan secara kasat mata
tak akan berlaku di hutan belantara seperti ini. Salam hangat kami sesama saudara
seadat yang berbeda negara di sini saja sudah cukup untuk menghancurkan
kebekuan batas hukum ketidakadilan ini.
Sekiranya mau berhukum. Maka mereka yang
korupsi itu yang sepatutnya di beri batas dengan kekuasaannya. Jangan semaunya
menancapkan patok batas, setelahnya tak
peduli kemakmuran kami di perbatasan.
“Gus, gula yang aku beli di warung saudaraku
di negeri Jiran itu, seandainya dipajak, tak akan cukup membayar ketidakadilan
kami di wilayah ini.”
Agus terdiam. Tak terlihat gagah seperti
biasanya tentara yang mengamankan pos perbatasan. Berat sepertinya merah putih
di lengan bajunya kali ini. Merah putih yang akan sulit di tentukan batas
antara kedua warnanya. Batas yang tak akan terlihat oleh mata. Tertutup lembut
oleh keharmonisan yang menghangatkan redupnya belantara hutan perbatasan ini.
“Baiklah Kim, aku sekarang sadar batas itu.
Mungkin karena aku bukan penduduk asli di sini.”
“Kau warga di sini atau bukan, itu bukan
permasalahannya Gus. Kau indonesia juga sama sepertiku. Kau tahu yang
menghalangi kita saat ini?’’
Agus menggeleng pelan. Dia sudah malas
menjawab pertanyaanku lagi, atau dia sudah tahu tak akan ada gunannya menjawab
pertanyaanku yang berapi - api.
“Gus, yang menghalangi kita saat ini, aku,
kau, dan warga di wilayah ini tidak lain adalah ketidakadilan hukum
pemerintah.’’
Puas aku mendakwahi
Agus, lelah mulut ini berkoceh. Kupandang jauh - jauh. Awan yang putih pekat
itu berleha menuju negeri seberang. Tanpa halangan, tanpa batas. Bebas, tanpa
hukum tanpa aturan yang melarang atau bahkan meminta izin dulu kepada pucuk -
pucuk Tengkawang yang tinggi menghijab ruang./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # PATOK BATAS "