Cerpen # POHON NATAL
Ayah terdiam, ibu terlihat terharu,dan Bang Pinai
terkekeh nakal. Mungkin ayah tak percaya apa yang aku lakukan. Kalau ibu aku
tak tahu mengapa, ia mengusap matanya
yang sembab berkali - kali. Dan aku pastikan abangku Pinai, bermaksud mengolok tak
langsung dengan tawanya yang nakal.
***
Sepupu – sepupuku tak mau berkumpul malam ini ke rumahku.
Karena seperti biasanya, setiap malam Natal, keluarga besar kami akan
berkunjung ke salah satu rumah yang mendapat giliran untuk dikunjungi. Malam
Natal kali ini giliran rumahku. Rumah keluarga besar Pak Sumpin.
Aku yakin, para orang tua tak ada yang berhalangan. Tapi
lihatlah, sepupu – sepupu yang tak mau berkunjung ke rumahku. Bukan hanya malam
Natal mereka seperti memusuhiku. Ketika diadakan sembahyang kring dari rumah ke
rumah, dan pas giliran rumahku mereka tak ada yang datang. Anehnya, di rumah
orang lain atau sepupuku yang lain mereka antusias menghadirinya. Pilih kasih
kalian, bersaudara karena harta.
Ya, saudara dari ayahku banyak. Ayah memiliki adik
delapan dan ayah anak tertua. Begitu ramainya kalau malam Natal berkumpul
sembilan bersaudara itu lengkap berserta keluarga masing – masing. Tapi, bukan
bermaksud mengecilkan ayahku. Beliau hanya petani, dan kesehariannya hanya
menyadap karet. Keluarga kami bisa dikatakan sangat sederhana.
Dibandingkan adik – adiknya, kehidupan
mereka lebih baik dari kami. Hanya ayah yang petani.
Pernahku dengar dari bibi, adik bungsu ayah bercerita,
kalau ayahku itu berkorban menyekolahkan adik – adiknya karena kakek kami telah
tiada. Jadilah beliau tulang punggung kelurga saat itu. Sedangkan nenek kami
juga hanya sebagai petani biasa. Ayah kerja keras, pagi menyadap karet siang ke
ladang dan malam harus menyuluh mencari ikan. Hampir tak punya waktu luang
beliau. Uang jualan karet ditabungnya untuk biaya sekolah adik - adiknya. Belum
lagi beliau pergi ke ladang mencari ubi dan sayuran yang bisa dijual. Malamnya
ia akan ke sungai mencari lauk untuk di
rumah. Karena bagi ayah uang untuk pendidikan adik – adiknya bukan untuk beli
lauk.
Jangan tanya pendidikan ayah. Masih kata bibiku, ayah
tidak tamat SD, tak tahu kelas berapa pastinya beliau berhenti sekolah. Kalau
paman dan bibiku, mereka tamat SMA, dan tiga di antara pamanku ada yang
sarjana. Mereka juga dipaksakan atau lebih tepatnya dimotivasi ayahku juga
untuk berani ke luar kota merantau untuk melanjutkan kuliah. Ayah sudah menjadi
orang tua bagi mereka sehingga kulihat paman dan bibiku menaruh hormat kepada
beliau.
Tapi, itu orang tua. Bukan anak – anaknya. Ya, sepupu –
sepupuku itu. Mereka tak menghargaiku. Kalaupun tak menghormati aku tolong
hormati keluargaku, dan masih juga tak bisa menghargai aku dan keluargaku
tolong hormatilah sosok tunggal ayahku.
Ketika ditanya mereka beralasan tak mau ke rumahku nanti
malam karena tak ada pohon Natal. Hiasan wajib saat Natal untuk rumah orang –
orang yang berduit saja. Bagiku Natal adalah kebersamaan, menghangatkan kasih
dalam dekapan hangat berkumpul dengan keluarga. Bukan ajang pamer pohon Natal
dan lampu kerlap - kerlip seperti yang dilakukan sepupu – sepupuku itu.
“Di rumahmu tak ada pohon Natal, kami tak mau ke
rumahmu.”
“Kalau kau pastikan nanti malam rumahmu ada pohon Natal,
kami akan datang. Tapi, kalau ada, ha-ha-ha.’’
Tak enak tawa kalian. Sesumbar. Melecehkan aku dan
keluargaku. Kalian juga telah melecehkan paman tertua kalian. Ayahku.
“Baik. Kalian datang saja, akanku tunjukkan pohon Natal
yang tak pernah kalian lihat sebelumnya.”
Mengapa aku menjanjikan sesuatu yang tak masuk akal.
Sesuatu yang sulit akan ku wujudkan. Bukan perkara gampang menghadirkan pohon
Natal di rumah ini. Membicarakannya dengan ayah sungguh tak tega. Melihat
kedipan mata sayunya saja aku bahagia, dan tak perlu harus bahagia dengan kedipan
lampu warna - warni di pohon Natal.
Lama aku mematungkan diri di teras rumah. Berpikir
bagaimana agar di rumah ini ada pohon Natal supaya sepupu – sepupuku itu mau
berkunjung ke rumah malam ini. Ku pejamkan mata berharap dalam doa akan ada
jawaban nantinya.
"Tuhan...Natalmu akan tiba. Kasihmu akan bersamanya.
Maka tolonglah aku ini mewujudkan kasih itu
untuk keluarga besarku malam ini. Tolonglah Tuhan, engkau tahu niatku.’’
Perlahan kututup doa dengan gerakan salip di dada. Mata
yang sembab perlahan terbuka. Entah memang jawaban doa atau apalah. Pandanganku
tertuju pada tanaman itu. Tanaman yang ditanam ayah di pekarangan depan. Hanya
satu itu. Kuingat dulu saat di tanya mengapa menanam tanaman itu di depan
rumah. Ayah hanya berujar, “ada aja gunanya.”
Mungkin sekaranglah kegunaan tanaman itu. Di malam Natal
ini. Akan kutunjukkan kegunaannya dan sekaligus akan kubuat sepupu – sepupuku
tercengang melihatnya.
***
Malam Natalpun tiba. Tak akan tertunda karena hujan ataupun
salju bahkan. Terlebih sampai malam Natal tak jadi hanya karena tidak adanya
pohon Natal di rumah orang yang merayakan. Malam yang akan membawakan kasih dan
cinta kepada kami yang akan berkumpul malam ini. Menghangatkan suasana
kekeluargaan yang mungkin sedikit dingin oleh kelakuan sepupu – sepupuku itu.
“Mana pohon Natalmu?”
“Iya, mana. Katamu tadi pagi ada, mana?”
Tak sabar ternyata mereka pikirku. Kulihat ayah mengetahui pertanyaan keponakan – keponakannya
yang kurang baik itu. Aku balas tatapan ayah dengan sumringah, karena ini juga
kejutan untuk ayah. Karena seharian ini beliau sibuk entah ke mana sehingga tak
tahu rencanaku dengan tanaman di halaman depan itu.
"Baik, tapi kita semua yang akan melihat pohon Natal
milikku. Ya, semua yang ada di ruangan tamu ini.’’
"Pohon Natal?” tanya ayah keheranan.
"Ya, di pojokan halaman depan, kita ke luar kalau mau
lihat,’’ jawabku semangat.
Semua anggota keluarga keluar ruang tamu. Sepupu –
sepupuku terlihat lebih bersemangat. Karena bagi mereka ini sesuatu yang
mustahil sebab tadi ketika lewat belum ada pohon Natal, mengapa sekarang ada. Dan
setelah semua berkumpul di halaman rumah mata mereka terbelalak.
Ayah terdiam, ibuku terlihat terharu. Paman dan bibiku
bertepuk tangan menyemangatiku. Sepupu – sepupuku masih kaget, tak percaya,
heran. Karena tak pernah mungkin mereka melihat pohon Natal sebesar ini. Seunik
ini. Hanya bang Pinai yang terkekeh nakal di samping pohon Natal buatan kami
berdua. Ya, pohon Natal rancanganku dari tanaman Sahang yang subur melilit
lanjarannya di halaman depan. Lengkap dengan sususan lilin buatan bang Pinai
yang berkilauan membentuk cahaya bertingkat melingkari tanaman Sahang milik
ayah itu.
Sulit dipercaya. Tapi itulah kenyataanya. Di Malam Natal
ini aku bahagia, karena sepupu –sepupuku mau datang ke rumahku. Lebih dari itu,
kejutanku untuk ayah sepertinya berhasil. Aku tunjukkan manfaat dari tanaman
Sahang yang dipertanyakan mengapa di tanam di pekarangan depan itu. Ternyata
Natal memberikan kasihnya kepada keluarga besarku malam ini.
Terima kasih Tuhan, kasihmu telah menghangatkan kami
malam ini. Tak ada dingin yang menerpa dari kedengkian manusia. Semua hangat
dengan semangat Natal yang menyala, seperti hangatnya nyala lilin di pohon
Natal Sahangku itu./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # POHON NATAL "