Hanya gara – gara
melaksanakan remedi ulangan Fisika di jam les sore di sekolahan, saya sampai
menahan lapar. Coba saja sejak saya SMA itu program makan siang gratis sudah
ada, menahan lapar sejak pagi sampai sore jam 5 itu, bagaikan berpuasa tanpa
niat.
Untuk menulis uneg –
uneg ini, saya sudah membaca beberapa artikel tentang makan siang gratis itu.
Mulai anggarannya, porsinya apa, bajet per anak berapa, tukang kateringnya
siapa, pakai kotak atau bungkus, dan tulisan sejenis lainnya.
Saya merasa program ini
sangat – sangat terlambat. Mengapa tidak sejak lama dibuat, bukannya iri dengan
anak – anak sekolah sekarang, namun pengalaman saya semasa sekolah yang menahan
lapar karena menunggu jam les tambahan itu yang membuat saya meronta menulis
opini ini.
Salah
kamu tidak pulang?
Pertanyaan yang sangat ajib. Asal tahu saja jarak antara rumah
dan sekolah saya itu sekitar 5 kilometer, dan saya harus jalan kaki. Kalau saya
pulang ke rumah mengganti pakaian, terus balik lagi ke sekolah untuk les itu,
sudah berapa waktu terbuang? Sangat sia – sia bukan? Seandainya pada saat itu
sudah ada program makan siang gratis, tak akan saya harus menahan lapar di
mushala sekolah.
Baca Juga : Makan Siang Gratis, dan Perasaan Galau Bibi Kantin
Kalau program tersebut
sudah ada sejak saya dulu, enak. Anak – anak pada masa itu belum
terkontaminasi dengan masakan – masakan
dari korea yang lagi hits sekarang. Kami masih mau kok diransum dengan tempe,
toge dan tahu. Toh jenis makanan itu cukup banyak nilai gizinya. Bayangkan zaman sekarang, ketika dibagikan
ransum dari sekolah, eh ternyata anak – anak ngak pada suka.
Aku
mau Tteokbokki
Aku
pengen mie Ramen
Anjir
Cuma ikan sarden?
Sungguh menyakitkan.
Komentar
Posting Komentar